Memperkuat Negara.
Fukuyama (2004) menjelaskan bahwa kuatnya suatu negara dapat dilihat dari berbagai dimensi, namun secara garis besar terbagi menjadi dua dimensi antara penegakan kebijakan dan fungsi kebijakan.
Fungsi negara yang kompleks mulai dari penyedian keteraturan publik dan pertahanan, sampai dengan regulasi industri kekayaan. Dalam praktek bernegara di Indonesia fukuyama menggambarkan bahwa negara Indonesia memiliki fungsi yang luas dengan kemampuan yang terbatas untuk menjalankan fungsi tersebut. Kekuatan negara dalam memiliki kemampuan untuk merumuskan dan menegakkan berbagai kebijakan secara konsisten dalam menjalankan administrasi negara ternyata juga gagal melindungi kaum miskin dan meningkatkan keadilan karena kondisi birokrasi yang tidak efisien dan tidak efektif serta hilangnya sumber kekayaan negara karena tidak terkontrolnya KKN oleh lembaga penegak hukum, akibat ketidakmampuan negara ini menyebabkan kemiskinan semakin menjadi dan ketidakadilan kaya-miskin semakin tajam.
Tiga Sumber Penyakit Negara
Negara Indonesia dianggap sebagai negara “kepentingan” karena kebijakan dan pengakan hukumnya sangat ditentukan “oleh siapa mendapatkan apa” (who gets what?). menurut Eko Prasojo (2008) berpendapat bahwa sumber penyakit yang menyebabkan lemahnya negara ini dapat di uraikan adanya interaksi antara political coruption, birokrasi coroption dan judical coruption.
Lemahnya sitim politik disebabkan partai politik tidak memiliki merit system yang kuat, yaitu partai politik yang tidak memiliki ideologi perjuangan yang jelas dan sistem kaderisasi yang memadai. Fenomena partai politik merupakan suatu perusahaan tempat kadernya mencari nafkah, tidak dapat terbayangkan jika partai politiknya berkuasa maka ancaman terhadap demokratisasi bernegara dan menyebabkan korupsi politik (politocal corruption). Penegakan hukum menurut Fukuyama (2004) merupakan kekuatan suatu negara, dalam hal ini Indonesia masih dinilai lemah terhadap penegakan hukum terlihat dengan terjadinya penegakan hukum yang sarat terhadap KKN dikalangan aparat penegak hukum (judical corruption) sehingga hukum di Indonesia merupakan “rule of the game”. Birokrasi yang kacau, mesin negara yang tidak efisien dan efektif, korup dan tidak sensitif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, kondisi seperti ini menyebabkan terjadinya korupsi dalam birokrasi atau kleptokrasi (bureaucratic corruption). Dapat dibanyakan jika tiga penyebab lemahnya negara ini ada pada negara kita, masihkah perlukah kita bernegara.
Reformasi Sistem Pengawasan Nasional
Eko prasojo berpendapat bahwa setidaknya ada empat jenis pengawan yaitu pengawasan, fungsional, politik, hukum dan mayarakat. Di Indonesia hampir semua jenis pengawasan ini lumpuh dan tidak berfungsi efektif. Lembaga-lembaga pengawasan yang dimiliki negara seperti Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) yang berfungsi sebagai pengawasan external yang mengawasi seluruh anggaran negara baik APBN, APBD dan bantuan luar negeri, sedangkan Badan Pemeriksaan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat Jenderal (Itjen) dan Badan Pengawasan Pengawasan Pembangunan Daerah (Bawasda) sebagai pengawasan fungsional pemerintah. Ada sejumlah persoalan utama yang menyebabkan tidak efektifnya lembaga pengawasan yang ada,
Perlu adanya reformasi dibidang pengawasan agar fungsi pengawasan dalam menegakkan pemerintahan yang profesional, bersih dan berwibawa dapat terwujud. Penguatan fungsi pemengawasan diarahkan pada lembaga yang independen dan tidak memiliki konflik kepentingan kelembagaan. BPK diharapkan dapat lebih maksimal lagi dalam pengawasan tidak hanya sektor pengawasan terhadap fungsi saja akan tetapi juga pengawasan terhadap pembangunan, sedangkan lembaga pengawasan internal pemerintah dapat lebih disederhanakan lagi baik jumlah maupun jenisnya.
Restrukturisasi Kementrian Negara
Peran menteri berkaitan langsung dengan kinerja presiden, oleh karena itu renovasi sitem, komposisi serta tugas pokok dan fungsi menteri harus dapat mendukung kinerja presiden. Agar peran mentri dapat optimal maka Undang-undang No 39/2008 tentang Kementerian Negara memerlukan sejumlah pandangan dari berbagai aspek, antara lain :
1. Aspek konstitusi, perlu adanya konstitusi yang jelas tentang tata cara presiden dalam membentuk mengubah dan membubarkan kementrian negara. Pasal 17 ayat 4 UUD 1945 “Undang-Undang Tentang Pembentukan, Pengubahan Dan Pembubaran Kementrian Negara” dirasakan kurang dapat mendefinisikan menurut aspek konstitusi.
2. Aspek Politis, kekuasaan pemerintah dalam konstitusi dan kehidupan bernegara yang menggunakan sistem presidential, akan tetapi dalam sebuah negara hukum yang demokratis, kekuasaan presiden tidaklah tanpa batas. Kekuasaan presiden harus memperhatikan kekuasaan yang dimiliki oleh cabang-cabang kekuasaan lainnya serta batas-batas hukum dan prinsip-prinsip dalam sebuah negara demokrat..
3. Jumlah Dan Jenis Kementrian, dalam UU No. 39/2008 tentang kementrian Negara disebutkan ada 3 jenis kementrian yaitu kementrian secara ekplisit dan inflisit disebut konstitusi dan kementrian strategis. Maksud pembagian jenis kementrian dimaksudkan untuk tujuan menentukan derajad kekuatan relasi antara DPR dengan presiden serta antara pemerintah pusat dengan daerah.
Pada prinsipnya jumlah dan nama jenis kementrian harus dibentuk oleh presiden masih dalam perdebatan, hal ini terjadi karena konstitusi tidak menyebutkan secara ekplisit nomenklatur kementrian yang harus ada dan diadakan presiden disisi lain kekuata pemerintah dimiliki olehn presiden sehingga jumlah dan nama kementrian negara ditentukan oleh presiden. Penyebutan jumlah dan nama kementrian oleh presiden tidak linier terhadap sistem presidential yang dianut.
Kriteria material didalam undang-undang tentang syarat-syarat membentuk, mengubah dan membubarkan kementrian harus bersifat umum dan fleksibel. Jika penyebutan jumlah dan jenis kementrian diatur dalam undang-undang maka persoalan strategis bangsa dalam kurun waktu dapat berubah. Penyusunan struktur organisasi harus ditentukan terlebih dahulu fungsinya bukan sebaliknya (struktur follows fungtion)
4. Persetujuan DPR, dalam sistem presidential, kekuasaan untuk membentuk, mengubah dan membubarkan kementrian berda ditangan presiden. Persetujuan DPR digunakan hanya sebatas pertimbangan tertentu. Jika dipaksakan keterlibatan DPR maka pasal yang mengatur tentang kementrian harus berbunyi “DPR memberikan pertimbangan kepada presiden dalam membentuk, mengubah dan membubarkan kementrian”
Rekomposisi Intrakementrian Negara
Upaya penyempurnaan struktur organisasi ynag dilakukan oleh mentri luar negeri Hasan Wirajuda tidak dapat dikatakan salah karena pembentukan suatu struktur kementrian harus sesuai dengan kebutuhan fungsi yang diemban. Apabila dengan penambhan struktur ini memiliki tugas pokok dan fungsi yang jelas maka hal ini harus dilakukan, akan tetapi dalam tahap pelaksanaannya tentu tidak akan sama bila dalam suatu forum yang mengharuskan kebijakan tertentu diambil oleh menteri diwakilakan terhadap wakilnya. Dampak yang akan terjadi tentu membuka peluang pada kepentingan tertentu.
Pembentukan struktur organisasi seperti ini tentu akan berimplikasi terhadap anggaran belanja aparatur negara, penambahan anggaran belanja aparatur negara sanagt bertentangan dengan nafas reformasi yang bertujuan merampingkan struktur, bila dipaksakan maka posisi yang layak menyandang wakil menteri adalah pejabat karier di Departemen agar dapat menghindari konflik kepentingan.
Polemik jabatan wakil mentri bukan hanya menjadi issue baru, namun telah lama diperbincangkan. Beberapa kepentingan menginginkan adanya wakil mentri disetiap departemen, hal ini disebabkan oleh efek domino di departemen lain yang mengharapkan adanya wakil mereka di tingkat kementrian.
Memutus Mata Rantai Koropsi Politik di DPR
Banyaknya temuan korupsi di DPR membuktikan bahwa korupsi sudah membudaya dan terlegitimasi di Indonesia. Korupsi bukanlah pekerjaa mendiri seseorang tapi tentu melibatkan pihak lain baik pihak politisi maupun pihak birokrasi yang bekerjasama. Pandangan yang lebih menyedihkan tentang korupsi adalah suatu tindakan yang tidak dipandang sebagai pelanggaran etika individu melainkan hanya sebuah pelanggaran etika sosial sebagai kesepakatan umum.
Korupsi di tingkat DPR terjadi secara sistematis dan berada dalam relasi sistem yang kompleks, sehingga upaya memeutuskan rantai korupsi di DPR tidak dapat dilakukan secara parsial dan dalam waktu singkat. Ada empat faktor yang saling berkorelasi dan bisa menjelasakn terjadinya koropsi di DPR,
Faktor mental politik membentuk sikap mental, pola pikir, etika dan perilaku anggota dewan, faktor struktural dalam korupsi di DPR adalah fungsi ketidaksetaraan relasi antara sistem birokrasi dan sistem politik dan faktor instrumental sangat memperangaruhi korupsi dengan tidak memiliki sasaran yang jelas serta faktor kultural merupakan implikasi terhadap lemahnya kontrol sosial dalam proses pembentukan undang-undang yang menyebabkan terjadinya transaksi ekonomi politik korupsi si DPR.
Refungsionalisasi Komisi Negara
Pembangunan Indonesia pada saat ini menuju arah titik kerusakan (breaking spots), kerusakan tidak hanya terjadi pada lembaga-lambaga negara, akan tetapi telah menjangkiti lembaga sejenis extraordinary bodies yang seharusnya dalam kerangka suatu reformasi. Dengan adanya kasus suap yang terjadi pada anggota komisi yudisial, anggota komisi pengawasn persaingan usaha dan terakhir kasus pembunuhan yang dilakukan oleh ketua KPK berdampak pada penurunan kepercayaan publik terhadap extraordinary bodies. Untuk meningkatkan kepercayaan masayarakat kembali maka institusi tersebut harus bekerja sesuai dengan fungsinya.
Disfungsi suatu institusi negara merupakan output dari kesenjangan antara kapasitas maupun kapabilitas serta kridibilitas yang dimilikinya. Secara konseptual disfungsi peran negara
Dampak dari kesenjangan fungsi yang menyebabkan disfungsi peran lemabag pemerintah dapat menyebabkan tidak terpenuhinya hak-hak masyarakat secara konstitusional atas keberadaan lembaga tersebut dan tendensi terjadinya abuse of power yang mengarah pada korupsi.
Kasus suap dan KKN pada lembaga extraordinary bodies serta terjadinya keterlibatan personilnya terhadap masalah hukum telah menggeser asumsi disfungsi kearah malfungsi peran negara. Kesalahan memandang bahwa reformasi merupakan linier dalam pemecahan persoalan negara dan bangsa, hipotesis tentang pembentukan lembaga-lembaga akan memecahkan persoalan yang ada ternyata tidak terbukti. salah satu masalahnya adalah disebabkan adanya overlaping wewenang pada tahap pelaksanaan dan terjadinya kesalahan mulai dari proses sampai dengan rekrutment personil dalam lembaga. Agar fungsi negara dapat berfungsi dengan baik maka harus ada perubahan sistemik, perbaikan moralitas dan melaksanakan check and balance terhadap komisi-komisi negara.
Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Hukum dan Politik
Sejak tahun 2008 sampai dengan 2009 mahkamah konstitusi telah membuat empat keputusan yang mempengaruhi kehidupan berpolitik di tanah air, antara lain :
1. Keputusan tentang dibolehkannya calon perseorangan dalam pemilihan langsung kepala daerah
2. Keputusan mahkamah tentang penetapan calon terpilih anggota legislatif berdasarkan suara terbanyak dalampemilu 2009.
3. Keputusan peneguhan mengenai ambang batas parlemen 2,5% (parlementary treshold)
4. Keputusan mahkamah konstitusi tanggal 17 Februari 2009 tentang penolakan calon perseorangan dalam pemilihan presiden.
Dengan adanya keputusan MK ini mempengaruhi iklim politik Indonesia dan menciptakan batas kekuasan negara dengan karakteristik “power tends to corrupt and absolut power corrupt absolutely” dapat dikurangi. Pembentukan MK adalah konsekwensi perkembangan negara hukum yang demokratis, oleh karena itu kedudukan, fungsi, serta perannya sebagai penjaga konstitusi (the guardies of constitusion) dalam sistem hukum dan politik Indonesia tertentu memerlukan tinjauan serius.
Mahkamah Konstitusi dalam Reformasi
Reformasi yang dimulai tahun 1998 memberikan kontribusi dalam reformasi ketatanegaraan, dengan dilakukan amandemen terhadap UUD 1945 menghasilkan perubahan sistem dan struktur ketatanegaraan yang lebih deemokratis dan mencerminkan pembagian kekuasaan yang lebih seimbang antara legislatif, yudikatif dan eksekutif.
Demokrasi pada zaman pemerintahan Sukarno telah menyebabkan tingginya pnyalahgunaan wewenag dimana keputusan-keputusan politik dibuat oleh pimpinan tanpa kontrol legislatif, sedangkan pada era pemerintahan Suharto yang dikenal dengan praktik pemerintahan “eksekutif-heavy” telah menempatkan lembaga-lambaga negara dalam posisi yang lemah dan mandul dan lahirnya peraturan dan undang-undang yang lebih mencerminkan kepentingan kelompok tertentu, hal ini terjadi karena tidak adanya kontrol terhadap produk peraturan dan undang-undang tersebut dari legislatif.
Kehidupan berbangsa pada zaman pemerintahan Sukarno dan Suharto mencerminkan seorang penguasa dengan gaya kepemimpinan rezim (strong man) yang memungkinkan serangkaian informal dan hubungan patron klien sebagai tempat pendistribuian fasilitas istimewa.
Reformasi juga menghasilkan pergeseran pelaksanaan prinsip kedaulatan rakyat yang berdasarkan kepada pemisahan kekuasaan (separation of power). Wujud nyata terjadinya pergeseran restrukturisasi MPR dari pelaksanaan tungggal kedaulatan rakyat dan institusi tertinggi negara menjadi parlemen dua kamar (bikameral system) yang terdiri dari DPR dan MPR itu sendiri. Presiden tidak lagi dipilih oleh MPR tetapi secara langsung oleh rakyat sehingga presiden bukan lagi sebagai mandataris MPR tetapi presiden merupakan mandataris rakyat. Disisi lebaga hukum, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh dua lembaga negara yang sederajad dan setara yaitu Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan fungsi dan wewenang yang berbeda.
Peran Konstitusional Mahkamah Konstitusi
Kehadiran MK dalam kehidupan bernegara dimaksudkan sebagai “penjaga gawang” dalam kesesuaian produk peraturan dan perundang-undangan (UU, PP, Kepres dan sebgainya) terhadap konstitusi. MK dapat mengintervensi secara langsung produk hukum yang bertentangan dengan konstitusi, keputusan MK mengikat tidak saja pada lembaga legislatif dan eksekutif saja tapi juga mengikat pada lembaga-lembaga peradilan pada semua tingkatan.
Fungsional kerja MK melakukan uji kesesuaian (materiil) dan prosedur (formal), wewenang MK sesuai dengan pasal 24C ayat 2 UUD 1945 yaitu memberikan keputusan hukum atas pendapat DPR untuk pemberhentian presiden dan wakil presiden, pembubaran partai politik dan pembatalan hasil pemilu menempatkan MK sebagai lembaga “peradilan politik”
Kekuasaan Keempat atau Super Organ
Dalam konsep trias political, kehadiran MK dipandang sebagai kekuatan keempat, dan dipandang juga sebagai super organ. Dalam kedudukannya MK memiliki fungsi kontrol dan pembatasan keuasaan dengan tugas utamanya adalah mengikat kekuasaan dalam bingkai hukum konstitusi yang berlaku dan melakukan interprestasi terhadap norma hukum, MK dikonsepkan sebagai organ hukum (Organ des Rechts) dan bukan sebagai organ politik (organ der politik)
Fungsi dan wewenang Politik Mahkamah Konstitusi
Batasan politik dan hukum MK dapat ditemukan dari implikasi yang ditimbulkan oleh keputusan yang dikeluarkan oleh MK dengan arti lain bahwa pembatasan yang tegas antara kekuasaan membuat undang-undang dan menguji undang-undang harus dilakukan, jika tidak ada batas yang jelas dan kuat maka MK akan menjadi super organ atau organ keemapt yang dapat menganulir kekuasaan legislatif secara sewenang-wenang.
Mahkamah Konstitusi yang Independen
Kunci keberhasilan kerja MK terletak pada personalitaas yang bekerja di MK, oleh karena itu maka kulaitas pemilihan dan terpenuhinya persyaratan calon hakim merupakan kunci independesitas MK. Seorang hakim MK harus memiliki syarat-syarat kualifikasi dan kemapuan dasar sebagi hakim karena dalam proses pembuatan keputusan MK adalah proses hukum dan bukan prose politik. Kadangkala keputusan MK harus bertabrakan dengan wilayah politik, hal ini menjadi epilog yang harus dapat didialogkan untuk melihat apakah seorang calon hakim MK haruslah seorang sarjana hukum menjadi tidak relevan. Selanjutnya dalam recrutmen hakim MK ada dua prinsip yang patut dicermati antara lain prinsip participatory yang memberikan kesempatan keterlibatan rakyat baik langsung maupun tidak langsung dalam proses recrutmen hakim MK. Prinsip kedua adalah prinsip indenpendensi yang harus menjamin bahwa proses recrutmen tidak boleh menjadi penyebab ketergantungan hakim MK terhadap pihak lain atau kelompok tertentu.
Fukuyama (2004) menjelaskan bahwa kuatnya suatu negara dapat dilihat dari berbagai dimensi, namun secara garis besar terbagi menjadi dua dimensi antara penegakan kebijakan dan fungsi kebijakan.
Fungsi negara yang kompleks mulai dari penyedian keteraturan publik dan pertahanan, sampai dengan regulasi industri kekayaan. Dalam praktek bernegara di Indonesia fukuyama menggambarkan bahwa negara Indonesia memiliki fungsi yang luas dengan kemampuan yang terbatas untuk menjalankan fungsi tersebut. Kekuatan negara dalam memiliki kemampuan untuk merumuskan dan menegakkan berbagai kebijakan secara konsisten dalam menjalankan administrasi negara ternyata juga gagal melindungi kaum miskin dan meningkatkan keadilan karena kondisi birokrasi yang tidak efisien dan tidak efektif serta hilangnya sumber kekayaan negara karena tidak terkontrolnya KKN oleh lembaga penegak hukum, akibat ketidakmampuan negara ini menyebabkan kemiskinan semakin menjadi dan ketidakadilan kaya-miskin semakin tajam.
Tiga Sumber Penyakit Negara
Negara Indonesia dianggap sebagai negara “kepentingan” karena kebijakan dan pengakan hukumnya sangat ditentukan “oleh siapa mendapatkan apa” (who gets what?). menurut Eko Prasojo (2008) berpendapat bahwa sumber penyakit yang menyebabkan lemahnya negara ini dapat di uraikan adanya interaksi antara political coruption, birokrasi coroption dan judical coruption.
Lemahnya sitim politik disebabkan partai politik tidak memiliki merit system yang kuat, yaitu partai politik yang tidak memiliki ideologi perjuangan yang jelas dan sistem kaderisasi yang memadai. Fenomena partai politik merupakan suatu perusahaan tempat kadernya mencari nafkah, tidak dapat terbayangkan jika partai politiknya berkuasa maka ancaman terhadap demokratisasi bernegara dan menyebabkan korupsi politik (politocal corruption). Penegakan hukum menurut Fukuyama (2004) merupakan kekuatan suatu negara, dalam hal ini Indonesia masih dinilai lemah terhadap penegakan hukum terlihat dengan terjadinya penegakan hukum yang sarat terhadap KKN dikalangan aparat penegak hukum (judical corruption) sehingga hukum di Indonesia merupakan “rule of the game”. Birokrasi yang kacau, mesin negara yang tidak efisien dan efektif, korup dan tidak sensitif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, kondisi seperti ini menyebabkan terjadinya korupsi dalam birokrasi atau kleptokrasi (bureaucratic corruption). Dapat dibanyakan jika tiga penyebab lemahnya negara ini ada pada negara kita, masihkah perlukah kita bernegara.
Reformasi Sistem Pengawasan Nasional
Eko prasojo berpendapat bahwa setidaknya ada empat jenis pengawan yaitu pengawasan, fungsional, politik, hukum dan mayarakat. Di Indonesia hampir semua jenis pengawasan ini lumpuh dan tidak berfungsi efektif. Lembaga-lembaga pengawasan yang dimiliki negara seperti Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) yang berfungsi sebagai pengawasan external yang mengawasi seluruh anggaran negara baik APBN, APBD dan bantuan luar negeri, sedangkan Badan Pemeriksaan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat Jenderal (Itjen) dan Badan Pengawasan Pengawasan Pembangunan Daerah (Bawasda) sebagai pengawasan fungsional pemerintah. Ada sejumlah persoalan utama yang menyebabkan tidak efektifnya lembaga pengawasan yang ada,
Perlu adanya reformasi dibidang pengawasan agar fungsi pengawasan dalam menegakkan pemerintahan yang profesional, bersih dan berwibawa dapat terwujud. Penguatan fungsi pemengawasan diarahkan pada lembaga yang independen dan tidak memiliki konflik kepentingan kelembagaan. BPK diharapkan dapat lebih maksimal lagi dalam pengawasan tidak hanya sektor pengawasan terhadap fungsi saja akan tetapi juga pengawasan terhadap pembangunan, sedangkan lembaga pengawasan internal pemerintah dapat lebih disederhanakan lagi baik jumlah maupun jenisnya.
Restrukturisasi Kementrian Negara
Peran menteri berkaitan langsung dengan kinerja presiden, oleh karena itu renovasi sitem, komposisi serta tugas pokok dan fungsi menteri harus dapat mendukung kinerja presiden. Agar peran mentri dapat optimal maka Undang-undang No 39/2008 tentang Kementerian Negara memerlukan sejumlah pandangan dari berbagai aspek, antara lain :
1. Aspek konstitusi, perlu adanya konstitusi yang jelas tentang tata cara presiden dalam membentuk mengubah dan membubarkan kementrian negara. Pasal 17 ayat 4 UUD 1945 “Undang-Undang Tentang Pembentukan, Pengubahan Dan Pembubaran Kementrian Negara” dirasakan kurang dapat mendefinisikan menurut aspek konstitusi.
2. Aspek Politis, kekuasaan pemerintah dalam konstitusi dan kehidupan bernegara yang menggunakan sistem presidential, akan tetapi dalam sebuah negara hukum yang demokratis, kekuasaan presiden tidaklah tanpa batas. Kekuasaan presiden harus memperhatikan kekuasaan yang dimiliki oleh cabang-cabang kekuasaan lainnya serta batas-batas hukum dan prinsip-prinsip dalam sebuah negara demokrat..
3. Jumlah Dan Jenis Kementrian, dalam UU No. 39/2008 tentang kementrian Negara disebutkan ada 3 jenis kementrian yaitu kementrian secara ekplisit dan inflisit disebut konstitusi dan kementrian strategis. Maksud pembagian jenis kementrian dimaksudkan untuk tujuan menentukan derajad kekuatan relasi antara DPR dengan presiden serta antara pemerintah pusat dengan daerah.
Pada prinsipnya jumlah dan nama jenis kementrian harus dibentuk oleh presiden masih dalam perdebatan, hal ini terjadi karena konstitusi tidak menyebutkan secara ekplisit nomenklatur kementrian yang harus ada dan diadakan presiden disisi lain kekuata pemerintah dimiliki olehn presiden sehingga jumlah dan nama kementrian negara ditentukan oleh presiden. Penyebutan jumlah dan nama kementrian oleh presiden tidak linier terhadap sistem presidential yang dianut.
Kriteria material didalam undang-undang tentang syarat-syarat membentuk, mengubah dan membubarkan kementrian harus bersifat umum dan fleksibel. Jika penyebutan jumlah dan jenis kementrian diatur dalam undang-undang maka persoalan strategis bangsa dalam kurun waktu dapat berubah. Penyusunan struktur organisasi harus ditentukan terlebih dahulu fungsinya bukan sebaliknya (struktur follows fungtion)
4. Persetujuan DPR, dalam sistem presidential, kekuasaan untuk membentuk, mengubah dan membubarkan kementrian berda ditangan presiden. Persetujuan DPR digunakan hanya sebatas pertimbangan tertentu. Jika dipaksakan keterlibatan DPR maka pasal yang mengatur tentang kementrian harus berbunyi “DPR memberikan pertimbangan kepada presiden dalam membentuk, mengubah dan membubarkan kementrian”
Rekomposisi Intrakementrian Negara
Upaya penyempurnaan struktur organisasi ynag dilakukan oleh mentri luar negeri Hasan Wirajuda tidak dapat dikatakan salah karena pembentukan suatu struktur kementrian harus sesuai dengan kebutuhan fungsi yang diemban. Apabila dengan penambhan struktur ini memiliki tugas pokok dan fungsi yang jelas maka hal ini harus dilakukan, akan tetapi dalam tahap pelaksanaannya tentu tidak akan sama bila dalam suatu forum yang mengharuskan kebijakan tertentu diambil oleh menteri diwakilakan terhadap wakilnya. Dampak yang akan terjadi tentu membuka peluang pada kepentingan tertentu.
Pembentukan struktur organisasi seperti ini tentu akan berimplikasi terhadap anggaran belanja aparatur negara, penambahan anggaran belanja aparatur negara sanagt bertentangan dengan nafas reformasi yang bertujuan merampingkan struktur, bila dipaksakan maka posisi yang layak menyandang wakil menteri adalah pejabat karier di Departemen agar dapat menghindari konflik kepentingan.
Polemik jabatan wakil mentri bukan hanya menjadi issue baru, namun telah lama diperbincangkan. Beberapa kepentingan menginginkan adanya wakil mentri disetiap departemen, hal ini disebabkan oleh efek domino di departemen lain yang mengharapkan adanya wakil mereka di tingkat kementrian.
Memutus Mata Rantai Koropsi Politik di DPR
Banyaknya temuan korupsi di DPR membuktikan bahwa korupsi sudah membudaya dan terlegitimasi di Indonesia. Korupsi bukanlah pekerjaa mendiri seseorang tapi tentu melibatkan pihak lain baik pihak politisi maupun pihak birokrasi yang bekerjasama. Pandangan yang lebih menyedihkan tentang korupsi adalah suatu tindakan yang tidak dipandang sebagai pelanggaran etika individu melainkan hanya sebuah pelanggaran etika sosial sebagai kesepakatan umum.
Korupsi di tingkat DPR terjadi secara sistematis dan berada dalam relasi sistem yang kompleks, sehingga upaya memeutuskan rantai korupsi di DPR tidak dapat dilakukan secara parsial dan dalam waktu singkat. Ada empat faktor yang saling berkorelasi dan bisa menjelasakn terjadinya koropsi di DPR,
Faktor mental politik membentuk sikap mental, pola pikir, etika dan perilaku anggota dewan, faktor struktural dalam korupsi di DPR adalah fungsi ketidaksetaraan relasi antara sistem birokrasi dan sistem politik dan faktor instrumental sangat memperangaruhi korupsi dengan tidak memiliki sasaran yang jelas serta faktor kultural merupakan implikasi terhadap lemahnya kontrol sosial dalam proses pembentukan undang-undang yang menyebabkan terjadinya transaksi ekonomi politik korupsi si DPR.
Refungsionalisasi Komisi Negara
Pembangunan Indonesia pada saat ini menuju arah titik kerusakan (breaking spots), kerusakan tidak hanya terjadi pada lembaga-lambaga negara, akan tetapi telah menjangkiti lembaga sejenis extraordinary bodies yang seharusnya dalam kerangka suatu reformasi. Dengan adanya kasus suap yang terjadi pada anggota komisi yudisial, anggota komisi pengawasn persaingan usaha dan terakhir kasus pembunuhan yang dilakukan oleh ketua KPK berdampak pada penurunan kepercayaan publik terhadap extraordinary bodies. Untuk meningkatkan kepercayaan masayarakat kembali maka institusi tersebut harus bekerja sesuai dengan fungsinya.
Disfungsi suatu institusi negara merupakan output dari kesenjangan antara kapasitas maupun kapabilitas serta kridibilitas yang dimilikinya. Secara konseptual disfungsi peran negara
Dampak dari kesenjangan fungsi yang menyebabkan disfungsi peran lemabag pemerintah dapat menyebabkan tidak terpenuhinya hak-hak masyarakat secara konstitusional atas keberadaan lembaga tersebut dan tendensi terjadinya abuse of power yang mengarah pada korupsi.
Kasus suap dan KKN pada lembaga extraordinary bodies serta terjadinya keterlibatan personilnya terhadap masalah hukum telah menggeser asumsi disfungsi kearah malfungsi peran negara. Kesalahan memandang bahwa reformasi merupakan linier dalam pemecahan persoalan negara dan bangsa, hipotesis tentang pembentukan lembaga-lembaga akan memecahkan persoalan yang ada ternyata tidak terbukti. salah satu masalahnya adalah disebabkan adanya overlaping wewenang pada tahap pelaksanaan dan terjadinya kesalahan mulai dari proses sampai dengan rekrutment personil dalam lembaga. Agar fungsi negara dapat berfungsi dengan baik maka harus ada perubahan sistemik, perbaikan moralitas dan melaksanakan check and balance terhadap komisi-komisi negara.
Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Hukum dan Politik
Sejak tahun 2008 sampai dengan 2009 mahkamah konstitusi telah membuat empat keputusan yang mempengaruhi kehidupan berpolitik di tanah air, antara lain :
1. Keputusan tentang dibolehkannya calon perseorangan dalam pemilihan langsung kepala daerah
2. Keputusan mahkamah tentang penetapan calon terpilih anggota legislatif berdasarkan suara terbanyak dalampemilu 2009.
3. Keputusan peneguhan mengenai ambang batas parlemen 2,5% (parlementary treshold)
4. Keputusan mahkamah konstitusi tanggal 17 Februari 2009 tentang penolakan calon perseorangan dalam pemilihan presiden.
Dengan adanya keputusan MK ini mempengaruhi iklim politik Indonesia dan menciptakan batas kekuasan negara dengan karakteristik “power tends to corrupt and absolut power corrupt absolutely” dapat dikurangi. Pembentukan MK adalah konsekwensi perkembangan negara hukum yang demokratis, oleh karena itu kedudukan, fungsi, serta perannya sebagai penjaga konstitusi (the guardies of constitusion) dalam sistem hukum dan politik Indonesia tertentu memerlukan tinjauan serius.
Mahkamah Konstitusi dalam Reformasi
Reformasi yang dimulai tahun 1998 memberikan kontribusi dalam reformasi ketatanegaraan, dengan dilakukan amandemen terhadap UUD 1945 menghasilkan perubahan sistem dan struktur ketatanegaraan yang lebih deemokratis dan mencerminkan pembagian kekuasaan yang lebih seimbang antara legislatif, yudikatif dan eksekutif.
Demokrasi pada zaman pemerintahan Sukarno telah menyebabkan tingginya pnyalahgunaan wewenag dimana keputusan-keputusan politik dibuat oleh pimpinan tanpa kontrol legislatif, sedangkan pada era pemerintahan Suharto yang dikenal dengan praktik pemerintahan “eksekutif-heavy” telah menempatkan lembaga-lambaga negara dalam posisi yang lemah dan mandul dan lahirnya peraturan dan undang-undang yang lebih mencerminkan kepentingan kelompok tertentu, hal ini terjadi karena tidak adanya kontrol terhadap produk peraturan dan undang-undang tersebut dari legislatif.
Kehidupan berbangsa pada zaman pemerintahan Sukarno dan Suharto mencerminkan seorang penguasa dengan gaya kepemimpinan rezim (strong man) yang memungkinkan serangkaian informal dan hubungan patron klien sebagai tempat pendistribuian fasilitas istimewa.
Reformasi juga menghasilkan pergeseran pelaksanaan prinsip kedaulatan rakyat yang berdasarkan kepada pemisahan kekuasaan (separation of power). Wujud nyata terjadinya pergeseran restrukturisasi MPR dari pelaksanaan tungggal kedaulatan rakyat dan institusi tertinggi negara menjadi parlemen dua kamar (bikameral system) yang terdiri dari DPR dan MPR itu sendiri. Presiden tidak lagi dipilih oleh MPR tetapi secara langsung oleh rakyat sehingga presiden bukan lagi sebagai mandataris MPR tetapi presiden merupakan mandataris rakyat. Disisi lebaga hukum, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh dua lembaga negara yang sederajad dan setara yaitu Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan fungsi dan wewenang yang berbeda.
Peran Konstitusional Mahkamah Konstitusi
Kehadiran MK dalam kehidupan bernegara dimaksudkan sebagai “penjaga gawang” dalam kesesuaian produk peraturan dan perundang-undangan (UU, PP, Kepres dan sebgainya) terhadap konstitusi. MK dapat mengintervensi secara langsung produk hukum yang bertentangan dengan konstitusi, keputusan MK mengikat tidak saja pada lembaga legislatif dan eksekutif saja tapi juga mengikat pada lembaga-lembaga peradilan pada semua tingkatan.
Fungsional kerja MK melakukan uji kesesuaian (materiil) dan prosedur (formal), wewenang MK sesuai dengan pasal 24C ayat 2 UUD 1945 yaitu memberikan keputusan hukum atas pendapat DPR untuk pemberhentian presiden dan wakil presiden, pembubaran partai politik dan pembatalan hasil pemilu menempatkan MK sebagai lembaga “peradilan politik”
Kekuasaan Keempat atau Super Organ
Dalam konsep trias political, kehadiran MK dipandang sebagai kekuatan keempat, dan dipandang juga sebagai super organ. Dalam kedudukannya MK memiliki fungsi kontrol dan pembatasan keuasaan dengan tugas utamanya adalah mengikat kekuasaan dalam bingkai hukum konstitusi yang berlaku dan melakukan interprestasi terhadap norma hukum, MK dikonsepkan sebagai organ hukum (Organ des Rechts) dan bukan sebagai organ politik (organ der politik)
Fungsi dan wewenang Politik Mahkamah Konstitusi
Batasan politik dan hukum MK dapat ditemukan dari implikasi yang ditimbulkan oleh keputusan yang dikeluarkan oleh MK dengan arti lain bahwa pembatasan yang tegas antara kekuasaan membuat undang-undang dan menguji undang-undang harus dilakukan, jika tidak ada batas yang jelas dan kuat maka MK akan menjadi super organ atau organ keemapt yang dapat menganulir kekuasaan legislatif secara sewenang-wenang.
Mahkamah Konstitusi yang Independen
Kunci keberhasilan kerja MK terletak pada personalitaas yang bekerja di MK, oleh karena itu maka kulaitas pemilihan dan terpenuhinya persyaratan calon hakim merupakan kunci independesitas MK. Seorang hakim MK harus memiliki syarat-syarat kualifikasi dan kemapuan dasar sebagi hakim karena dalam proses pembuatan keputusan MK adalah proses hukum dan bukan prose politik. Kadangkala keputusan MK harus bertabrakan dengan wilayah politik, hal ini menjadi epilog yang harus dapat didialogkan untuk melihat apakah seorang calon hakim MK haruslah seorang sarjana hukum menjadi tidak relevan. Selanjutnya dalam recrutmen hakim MK ada dua prinsip yang patut dicermati antara lain prinsip participatory yang memberikan kesempatan keterlibatan rakyat baik langsung maupun tidak langsung dalam proses recrutmen hakim MK. Prinsip kedua adalah prinsip indenpendensi yang harus menjamin bahwa proses recrutmen tidak boleh menjadi penyebab ketergantungan hakim MK terhadap pihak lain atau kelompok tertentu.
AGUS ASYURI, SRI ARYATI, IKHWAN NOVA dan LENI HARYATI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar