Minggu, 28 Maret 2010

ANALISIS UTILISASI DAN BIAYA PELAYANAN RAWAT INAP PESERTA PROGRAM KESEHATAN PENSIUNAN (PROKESPEN) PT.ASURANSI JIWASRAYA (PERSERO) JAKARTA III REGIONAL

ABSTRAK

Dampak dari keberhasilan pembangunan kesehatan adalah meningkatnya jumlah penduduk usia lanjut. Bertambahnya usia harapan hidup akan mengakibatkan menurunnya penghasilan dan meningkatkan biaya perawatan kesehatan.
Penelitian deskriptif untuk memperoleh gambaran utilisasi dan biaya rawat inap pada kelompok keluarga pensiunan.
Hasil penelitian adalah sebagai berikut, pada peserta dengan benefit lebih tinggi cenderung memaksimalkan benefit yang dimilikinya, utilisasi pada jenis kelamin perempuan lebih kecil sedangkan biaya lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki, lebih dari 2/3 klaim adalah kelompok umur >50 tahun dan biaya tertinggi pada kelompok umur <21>

I. PENDAHULUAN
Pembangunan kesehatan yang telah di laksanakan secara bertahap dan berkesinambungan, dalam banyak hal telah berhasil meningkatkan status kesehatan masyarakat secara bermakna dalam dua dasa warsa terakhir ini. Hal tersebut ditandai dengan turunnya angka kematian bayi dari 46 pada tahun 1997 menjadi 32 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2005. Demikian juga angka kematian ibu melahirkan telah menurun dari 334 pada tahun 1997 menjadi 262 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2005. Prevalensi gizi kurang pada balita menurun dari 37,5 % pada tahun 1989 menjadi 26 % pada tahun 2005. Sedangkan umur harapan hidup (UHH) telah meningkat dari 41 tahun pada tahun 1960 menjadi 69 tahun pada tahun 2005 (Sekjen Depkes RI, 2006).
Pada saat masa pensiun perlu memiliki rasa tenang terutama dalam menghadapi pengeluaran atas biaya-biaya rawat inap maupun rawat jalan karena resiko tertentu (sickness or injury), karena ketika pensiun mengalami kecelakaan atau sakit, mendapat kompensasi berupa pengurangan harga keseluruhan atau sebagian pelayanan kesehatan sehingga tidak membebani ekonomi rumah tangga dan dengan adanya asuransi kesehatan bagi pensiun ini juga membantu efesiensi pengelolaan program kesehatan (Supratman. B, 2006)
Utilization review dapat melihat beban biaya perusahaan asuransi dalam rangka pembiayaan pelayanan kesehatan, mengontrol pembiayaan pelayanan kesehatan serta mamberikan informasi dalam pelaksanaan suatu asuransi kesehatanan dengan pengkajian loss ratio, angka loss ratio merupakan indikator yang mampu mencerminkan berupa besar beban keuangan yang ditanggung oleh perusahaan asuransi/managed care dalam rangka pembiayaan pelayanan kesehatan yang ditanggung atau klaim biaya kesehatan (Ilyas,2006).
Angka loss ratio diperoleh dengan membandingkan antara pengeluaran biaya kesehatan (biaya klaim) dengan jumlah premi yang diterima. Angka ini dinyatakan dalam persentase. Semakin tinggi angka persentase loss ratio, berarti semakin banyak biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk membiayai pelayanan kesehatan anggotanya atau semakin sedikit persentase keuntungan yang diperoleh (Ilyas,2006)
Semakin tingginya pembiayaan pelayanan kesehatan serta untuk mengendalikan biaya pelayanan kesehatan agar mutu tetap terjamin maka perlu dilakukan teknik pengendalian biaya dengan melakukan utilization review. PT. Asuransi Jiwasraya (Persero) Jakarta III Regional Office selama ini belum melakukan atau menerapkan teknik utilization review dalam melaksanakan manajemen pengendalian biaya pelayanan kesehatan. Kendali biaya dengan melakukan utilisasi review juga diharapkan mampu menekan tingginya angka loos ratio klaim pada prokespen.

II.BAHAN DAN CARA PENELITIAN
Penelitian ini adalah merupakan penelitian bersifat deskriptif dengan metode kuantitatif, menggunakan data sekunder dengan rancangan penelitian cross sectional. Untuk mendapatkan gambaran pemanfaatan pelayanan kesehatan rawat inap peserta program kesehatan pensiunan (Prokespen) selama bulan April 2006 sampai dengan Maret 2007
Populasi penelitian adalah data laporan tagihan klaim rawat inap peserta Prokespen selama bulan April 2006 sampai dengan Maret 2007, yaitu sebanyak 870 tagihan klaim.
Dari 870 tagihan klaim yang telah dibayarkan oleh PT Asuransi Jiwasraya (Persero) Jakarta III Regional Office, jumlah tagihan klaim ini akan dijadikan sampel dalam penelitian ini.

1.Gambaran Umum Prokespen PT. Asuransi Jiwasraya Regional Office III Jakarta
Program Kesehatan Pensiun (Prokespen) merupakan Program jaminan pembiayaan dan pemeliharaan kesehatan bagi peserta pensiunan, benefit yang diberikan adalah meliputi biaya rawat jalan maupun rawat inap baik dengan system reimbursement maupun menggunakan jaringan pelayanan kesehatan PT. Asuransi Jiwasraya (Persero) yang tersebar di seluruh Indonesia. Dalam pelaksanaan tugas produk asuransi kesehatan unit program prokespen merupakan bagian dari program callcenter, didukung oleh sumber daya manusia yang bertanggung jawab terhadap tugas dan fungsi unit klaim. Adapun analisis situasi sumber daya manusia diketahui bahwa proforsi karyawan pada call center seluruhnya berjumlah 10 orang dengan 70% karyawannya laki-laki dan 30% perempuan, benefit Rawat Inap dapat dilihat proporsi jumlah karyawan yang memiliki latar belakang pendidikan kesehatan keseluruhan karyawan berjumlah 7 orang atau 70% dan yang berlatar belakang pendidikan non kesehatan berjumlah 3 orang atau 30% dari seluruh karyawan.
Manfaat pelayanan rawat inap dibagi dalam 4 (empat) kelompok service level, yaitu A, B, C, dan D dengan besar plafon santunan perorang atau pertahun yang berbeda untuk masing-masing kelompok, karakteristik peserta terbanyak adalah peserta pada kelompok service level B sebesar 2.765 peserta dan terkecil pada kelompok service level D dengan jumlah 49 peserta, karakteristik kepesertaan menurut jenis kelamin, peserta dengan jenis kelamin laki-laki berjumlah 2.175 (42,79%) peserta lebih kecil dibandingkan jenis kelamin perempuan berjumlah 2.908 (57,21%) peserta, dilihat karakteristik kepesertaan menurut kelompok umur, peserta terbanyak pada kelompok umur 51-70 tahun sebanyak 2.843 (55,93%) peserta.
III. HASIL PENELITIAN

1.Distribusi Klaim Rawat Inap Menurut Kepesertaan
Dari hasil penelitian yang disajikan dalam tabel 6.1 dapat dilihat distribusi klaim rawat inap dengan kepesertaan program Prokespen menurut status service level, jenis kelamin, kelompok umur, diketahui rasio klaim rawat inap menurut kepesertaan program Prokespen adalah 17,12% dari 5.083 peserta, rasio terbesar pada service level D sebesar 34,69% dari 49 peserta dan rasio terkecil pada service level A sebesar 14,90% dari 1.832 peserta, rasio klaim jenis kelamin laki-laki lebih besar dari jenis kelamin perempuan, selanjutnya rasio terbesar pada kelompok umur adalah kelompok umur >70 sebesar 31,33% dan kelompok umur 31-50 dan 51-70 tahun relatip sama merupakan rasio klaim terbesar dan terkecil pada kelompok umur <21>
2. Distribusi Klaim Rawat Inap Menurut Variabel Independen Distribusi klaim rawat inap peserta asuransi kesehatan program Prokespen PT. Asuransi Jiwasraya (Persero) Jakarta III Regional Office selama bulan Maret 2006 sampai dengan April 2007 menurut status service level, jenis kelamin, kelompok umur, jumlah diagnosa, jenis penyakit dan Provider, adalah lebih dari separuh klaim adalah service level B, klaim antara jenis kelamin laki-laki hampir sama dengan jenis kelamin perempuan, lebih separuh pada usia 51-70 tahun dan 2/3 klaim pada usia >50 tahun, separuh klaim pada 1 diagnosa dan 1/4 klaim dengan 2 diagnosa, lebih dari 2/3 klaim dengan penyakit non infeksi dan 3/4 klaim pada provider jaringan.
3.Distribusi Klaim Rawat Inap Menurut Lama Hari rawat
Dari hasil penelitian diketahui total hari rawat inap atau length of stay (LOS) adalah 5.883 dengan rata-rata lama hari rawat atau average length of stay (ALOS) adalah 6,76 hari dengan rentang lama hari rawat minimal 1 hari dan maksimal 40 hari.
4.Distribusi Biaya Menurut Aneka Biaya Rawat Inap
Dari hasil penelitian diketahui bahwa jumlah total biaya rawat inap per hari adalah Rp.1.676.794, biaya terbesar dan hampir 1/4 dari biaya total per hari adalah biaya obat, terbesar kedua dengan jumlah hampir sama berkisar 1/8 dari biaya total per hari adalah biaya bedah, biaya kamar bedah dan tindakan.
5.Distribusi Aneka Biaya Rawat Inap Menurut Service Level
Penelitian terhadap perbedaan rata-rata biaya aneka rawat inap per hari menurut kelompok service level menggunakan uji Anova dengan menggunakan alpha (α) 0,05 dan jika ditemukan perbedaan yang signifikan antar kelompok maka dilakukan uji Anova lanjutan menggunakan metode Bonferroni untuk mengetahui kelompok yang memiliki perbedaan yang signifikan, adapun hasil penelitian sebagai berikut : rata-rata biaya rawat inap per hari pada kelompok service level A dan service level B hampir sama berkisar Rp.1.500.000, kelompok service level C adalah Rp.2.084.169 sedangkan pada kelompok service level D adalah Rp.3.428.284 dan merupakan biaya terbesar menurut service level. Hasil uji statistik didapat ada perbedaan yang signifikan antara kelompok service level, hasil uji Bonferroni membuktikan bahwa kelompok yang berhubungan signifikan adalah kelompok service level A dengan service level D.Perbedaan yang signifikan juga ditemukan pada biaya kamar per hari, hasil uji Bonferroni membuktikan kelompok yang berhubungan signifikan adalah kelompok service level A dengan service level C dan kelompok service level B dengan service level D, perbedaan yang signifikan juga ditemukan pada biaya tindakan dan biaya alat kesehatan, hasil uji Bonferroni membuktikan kelompok yang berhubungan signifikan adalah kelompok service level A dengan service level D, service level B dengan D dan kelompok service level C dengan service level D
6.Distribusi Aneka Biaya Rawat Inap Menurut Jenis Kelamin
Penelitian terhadap perbedaan rata-rata biaya aneka rawat inap per hari menurut jenis kelamin menggunakan uji t-test (two tail), untuk mengetahui perbedaan rata-rata antara jenis kelamin, hasil penelitian , sebagai berikut: dilihat rata-rata total biaya rawat inap per hari pada jenis kelamin laki-laki lebih besar dari pada jenis kelamin perempuan dan tidak ditemukan perbedaan yang signifikan. Namun hasil uji statistik terhadap aneka biaya rawat inap ditemukan perbedaan yang signifikan pada biaya visite dan biaya tindakan antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan
7.Distribusi Aneka Biaya Rawat Inap Menurut Kelompok Umur
Penelitian terhadap perbedaan rata-rata biaya aneka rawat inap per hari menurut kelompok umur menggunakan uji Anova dengan menggunakan alpha (α) 0,05 dan jika ditemukan perbedaan yang signifikan antar kelompok maka dilakukan uji Anova lanjutan menggunakan metode Bonferroni untuk mengetahui kelompok yang memiliki perbedaan yang signifikan, hasil penelitian menunjukkan rata-rata total biaya rawat inap per hari menurut kelompok umur >31-50 tahun, 51-70 tahun dan >70 tahun hampir sama dan tertinggi pada kelompok umur <21>70 tahun
8.Distribusi Aneka Biaya Rawat Inap Menurut Jumlah Diagnosa
Penelitian terhadap perbedaan rata-rata biaya aneka rawat inap per hari menurut jumlah diagnosa menggunakan uji Anova, dan jika ditemukan perbedaan yang signifikan antar kelompok maka dilakukan uji Anova lanjutan menggunakan metode Bonferroni untuk mengetahui kelompok yang memiliki perbedaan yang signifikan, adapun hasil penelitian dapat sebagai berikut : diketahui rata-rata biaya total rawat inap per hari menurut jumlah diagnosa tertinggi adalah 3 diagnosa, terbesar kedua adalah 2 diagnosa hampir sama dengan 1 diagnosa dan 4 diagnosa, terkecil >4 diagnosa, hasil uji statistik tidak ditemukan perbedaan yang signifikan antara kelompok jumlah diagnosa begitu juga dengan hasil uji statistik terhadap aneka biaya rawat inap tidak ditemukan perbedaan perbedaan yang signifikan.
9.Distribusi Aneka Biaya Rawat Inap Menurut Jenis Penyakit
Penelitian terhadap perbedaan rata-rata biaya aneka rawat inap per hari menurut jenis penyakit menggunakan uji Anova, dan jika ditemukan perbedaan yang signifikan antar kelompok maka dilakukan uji Anova lanjutan menggunakan metode Bonferroni untuk mengetahui kelompok yang memiliki perbedaan yang signifikan, adapun hasil penelitian, sebagai berikut : rata-rata total biaya per hari menurut jenis penyakit tertinggi pada jenis penyakit non infeksi, tertinggi kedua pada jenis penyakit infeksi disertai dengan non infeksi dan terkecil pada jenis penyakit infeksi. Hasil uji statistik ditemukan ada perbedaan biaya yang signifikan antara jenis penyakit, uji boferroni membuktikan perbedaan yang signifikan adalah jenis penyakit non infeksi dengan jenis penyakit infeksi disertai non infeksi.Selanjutnya pada uji satatistik terhadap aneka biaya rawat inap ditemukan perbedaan yang signifikan pada biaya kamar. Hasil uji bonferroni pada biaya kamar membuktikan perbedaan yang signifikan adalah jenis penyakit non infeksi dengan jenis penyakit infeksi disertai non infeksi
10.Distribusi Aneka Biaya Rawat Inap Menurut Provider
Penelitian terhadap perbedaan rata-rata biaya aneka rawat inap menurut provider menggunakan uji t-test (two tail), adapun hasil penelitian, sebagai berikut : rata-rata total biaya per hari menurut provider, pada provider jaringan lebih tinggi dari pada provider luar jaringan. Hasil uji statistik tidak ditemukan perbedaan yang signifikan pada rata-rata total biaya per hari, namun pada biaya kamar bedah dan tindakan ditemuan perbedaan yang signifikan pada rata-rata biaya per hari.
11.Distribusi Aneka Biaya Rawat Inap Menurut Lama Hari Rawat
Penelitian terhadap perbedaan rata-rata biaya aneka rawat inap per hari menurut provider menggunakan uji regresi linier, adapun hasil penelitian, sebagai berikut : hubungan lama hari rawat dengan biaya total rawat inap menunjukkan hubungan lemah dan berpola negatip. Nilai koefisien determinasi yang diperoleh kurang baik untuk menjelaskan variabel total biaya rawat inap. Hasil uji statistik didapatkan ada hubungan yang signifikan antara lama hari rawat dengan total biaya rawat inap.Selanjutnya, dari keseluruhan variabel aneka biaya rawat inap menunjukkan hubungan lemah, persamaan garis relatip berpola negatip, namun pada variabel biaya kamar, biaya visite spesialis dan lama biaya konsultasi berpola positip. Hasil uji statistik ada hubungan yang signifikan antara lama hari rawat dengan variabel biaya kamar, biaya visite spesialis, biaya bedah, biaya anastesi, biaya kamar bedah, biaya tindakan, biaya alat kesehatan dan biaya aneka perawatan rumah sakit
IV. PEMBAHASAN
A.Utilisasi dan Biaya Rawat Inap Menurut Kepesertaan
Dari hasil diketahui bahwa tingkat keberhasilan program Prokespen mengendalikan dan mereduksi resiko pada peserta untuk mendapatkan pelayanan rawat inap adalah 17,12% dari 5.083 peserta, dalam wawancara tak terstruktur, penanggung jawab program Prokespen menyatakan tingginya tagihan klaim mengakibatkan tingginya angka loss rasio.
Asuransi kesehatan yang masih melandaskan bekerjanya pada konsep reimbursement fee for service system dikenal sebagai traditional healt insurance. Selanjutnya dijelaskan juga bahwa perusahaan asuransi bukan hanya lembaga keuangan yang bekerja atas dasar konsep reimbursement fee for service system yang membayar syarat-syarat tertentu yang disepakati bersama (indemnity), tetapi juga merupakan lembaga yang menawarkan paket-paket pemeliharaan kesehatan (Health Service) untuk menekan angka morbiditas pesertanya (Sulastomo, 2001).
Empat konsep promosi kesehatan, (1) konsep promotif adalah merupakan usaha promosi pada kelompok orang sehat agar mampu meningkatkan kesehatannya, dari beberapa survey di negara-negara berkembang menjelaskan hanya 80%-85% orang yang benar-benar sehat dan apabila kelompok ini tidak mendapatkan promosi kesehatan maka angka ini akan menurun jumlahnya, (2) konsep primery preventif adalah merupakan suatu usaha promosi kesehatan pada kelompok yang beresiko tinggi (high risk) dengan tujuan dapat mencegah kelompok tersebut tidak jatuh sakit, (3) konsep secondari prevention adalah suatu kegiatan promosi kesehatan pada penderita (pasien) terutama penyakit-penyakit kronis dengan tujuan agar kelompok ini mampu mencegah penyakit tersebut tidak semakin parah. (4) konsep tertiary prevention merupakan usaha promosi pada kelompok baru sembuh dari sakit. (Notoatmodjo. S, 2005)
Dengan jenis produk asuransi maxsimum benefit perlu dilakukan telaah yang lebih banyak terhadap karakteristik peserta agar kendali biaya dan kendali mutu pelayanan kesehatan dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan peserta, penulis menyarankan untuk melakukan evaluasi produk jaminan yang diberikan selama ini. Salah satu solusi adalah melakukan perubahan konsep dari konsep maksimum benfit ke konsep managed care atau solusi lain dengan meningkatakan manajemen manajemen klaim dan fraud serta melaksanakan usaha promotif dan preventif untuk menekan angka morbiditas khususnya pada kelompok usia lanjut.
Dari hasil penelitian yang disajikan dalam tabel 6.3 diketahui hampir 1/4 beban biaya adalah biaya obat, terbesar kedua adalah biaya bedah, biaya tindakan dan biaya kamar bedah.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 560/ Menkes/SK/IV/2003 tantang Pola tarif Perjan Rumah Sakit, Bab VIII. Pasal 9 ayat (2) menjelaskan bahwa tindakan medik operatif dan non operatif meliputi, tindakan medik operatif kecil/sederhana, operatif sedang, operatif besar, operatif canggih, operatif khusus. Pentarifan masing-masing tindakan ditentukan oleh masing-masing rumah sakit.
Masalah obat di Indonesia, menjadi salah satu kendala untuk dapat menumbuhkan pelayanan obat yang efisien. Hal ini disebabkan karena banyaknya jenis dan merek dagang yang beredar, dengan harga yang sangat bervariasi untuk obat dengan nama generik yang sama (Sulastomo, dalam Thabrani. H dan Hidayat. B, 2000)
Pengalaman PT. Askes dengan menggunkan pendekatan DPHO, apabila diperluas jangkauan pemakaiannya akan mampu mengendalikan harga obat melalui mekanisme pasar, sehingga secara keseluruhan harga obat dapat terkendali. (Sulastomo, dalam Thabrani. H dan Hidayat. B, 2000)
Teknologi medis baru yang digunakan oleh provider medis, harga paket medis dapat naik dan turun. Beberapa teknologi baru dapat menurunkan harga akan tetapi obat-obatan baru seringkali lebih mahal dari pada obat-obatan yang lama, karena perusahaan obat-obatan harus memindahkan ongkos penelitian dan pengembangan kepada konsumen. (Junadi. P,2000)
Tinjauan penggunaan obat atau evaluasi penggunaan obat mencakup tinjauan resep dokter, penyalurannya oleh apotik dan penggunaan obat oleh pasien. Tujuan program ini untuk menjamin pelayanan berkualitas tinggi bagi pasien dengan biaya terjangkau melalui resep dan pemakaian obat yang tepat. (HIAA, 2001)
Asuradur berusaha mengatasi masalah kenaikan biaya obat dengan berbagai cara, cara yang paling banyak digunakan adalah dengan menggunkan formulatium, dimana asuradur menggunkan sebagai insentif kepada anggita dan dokter yang memilih obat yang lebih murah, jika tersedia dua pilihan yang mempunyai efektifitas klinik yang sama. Formularium ini sering tidak berfungsi ketika dokter yang menulis resep mencantumkan “tidak boleh diganti atau dispensed as written”.(HIAA, 2001).


B.Utilisasi dan Biaya Rawat Inap Menurut Service Level
Dari hasil penelitian terlihat bahwa distribusi klaim rawat inap terbesar adalah service level B dan terkecil adalah service level D, hal ini terbalik jika dilihat dari proporsi klaim menurut status kepesertaan masing-masing service level dimana rasio service level D merupakan proporsi tertingi. Dilihat dari benefits yang ditentukan oleh Prokespen untuk pelayanan rawat inap adalah pada service level D (benefits terbesar) dengan jumlah benefits separuh lebih besar dari service level A (benefits terkecil).
Konsep jumlah peserta harus cukup besar atau large number of insureds, dimana asuransi didasarkan pada konsep berbagi resiko kepada peserta yang jumlahnya cukup besar. Pihak penanggung tentu tidak mau memberikan asuransi kesehatan hanya kepada satu orang peserta, karena sulit mengetahui apakah orang tersebut akan mengalami sakit berat dengan biaya yang mahal. Akan tetapi kalau jumlah peserta tersebut ribuan, maka dapat dibuat perkiraan berapa diantara mereka yang mungkin mengalami satu kejadian.(Thabrany.H ,2005)
Menurut Thabrany. H dan Mayanda. L dalam Thabrany, H (2005), menjelaskan bahwa secara umum terdapat diskrepansi akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan yang terus berkelanjut pada semua tingkat pendapatan khususnya pelayanan rawat inap.
Agar resiko dapat disebarkan secara luas dan direduksi dengan efektif, maka asuransi membutuhkan jumlah peserta yang besar. Makin besar jumlah peserta, makin besar resiko kerugian yang dapat direduksi. Prinsip ini merupakan konsekwensi hukum jumlah besar (Law of large number) (Murti. B, 2000)
Berdasarkan hasil penelitian dan teori diatas, dapat dilihat semakin tinggi jumlah kepesertaan maka lebih mampu kelompok tersebut mereduksi resiko yang ada, kemampuan mereduksi resiko tertinggi adalah kelompok service level A yang merupakan kelompok dengan benefits atau manfaat terkecil dan kemampuan mereduksi resiko terendah adalah kelompok service level D yang merupakan kelompok dengan benefits tertinggi. benefits tertinggi (service level D), Hasil penelitian ini sesuai dengan konsep asuransi kesehatan tentang pentingnya large number of insureds dan Law of large number.
Secara umum rata-rata total biaya rawat inap per-hari menurut service level tertinggi adalah service level D dan terendah pada kelompok service level A. Hasil uji statistik didapat perbedaan yang signifikan antar service level, hasil uji bonferroni membuktikan bahwa kelompok yang memiliki perbedaan signifikan adalah kelompok service level A dan service level D.
Perbedaan yang signifikan juga ditemukan pada biaya kamar, hasil uji Bonferroni membuktikan kelompok yang berhubungan signifikan adalah kelompok service level A dengan service level C dan kelompok service level B dengan service level D. perbedaan yang signifikan juga ditemukan pada biaya tindakan dan biaya alat kesehatan, hasil uji Bonferroni membuktikan kelompok yang berhubungan signifikan adalah kelompok service level A dengan service level D, service level B dengan D dan kelompok service level C dengan service level D.
Teorema untuk menjelaskan perilaku pengambilan keputusan dalam situasi ketidakpastian adalah teorema harapan hidup. Pernyataan teorema utilisasi harapan sederhana. Individu-individu bila dihadapkan pada situasi pilihan beresiko, akan mencoba membuat keputusan-keputusan yang dapat memaksimalkan utilitas harapan mereka. Dengan teorama ini, manusia merupakan utility maximizer (Murti. B,2000)
Menurut Utami.A, (2006), bahwa berapapun biaya akan habis dan adanya ketidakpastian sehingga mencari segala upaya (unnecessary procedures) atau Law of medical money and law of medical uncertainty.
Hasil penelitian ini juga didukung oleh hasil evaluasi program jaminan kesehatan purna karya atau pensiunan dan keluarga pada PT Krakatau steel dengan memberlakukan maksimum benefit menyebabkan peserta cendrung memanfaatkan pelayanan secara maksimal dimana 66% peserta menghabiskan plapon dan 27% dibawah plafon dan juga ditemukan 7% peserta menggunakan pelayanan kesehatan diatas plafon yang ditetapkan (Suhadak. H. A, 2006)
Dari teori diatas dan hasil penelitian penulis menarik kesimpulan bahwa pada service level D yang merupakan kelompok dengan benefits terbesar cenderung memaksimalkan jaminan yang dimilikinya, sebaliknya terhadap service level yang terkecil benefitnya atau service level A pemanfaatan biaya terkecil, untuk mengkaji kualitas pelayanan yang didapat oleh masing-masing service level perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Kemungkinan peserta berpedoman dengan benefitnya dibandingkan dengan kebutuhan medis perlu mendapat perhatian.
Dari teori dan hasil penelitian ini, asumsi awal penulis terbukti dimana asumsi awal adalah tingginya pemanfaatan biaya pada service level D akan berdampak pada perbedaan yang signifikan pada rata-rata pemanfaatan biaya per hari antar kelompok berdasarkan besar-kecilnya benefit yang dimiliki, disarankan kepada program Prokespen untuk melakukan evaluasi lebih lanjut terhadap rancangan jenis produk maxsimum benefit, karena dengan rancangan produk maxsimum benefit ini menyebabkan kesulitan untuk melakukan manajemen kontrol terhadap biaya dan mutu layanan karena kecendrungan peserta berpatokan dengan plafon yang dimilik

C.Utilisasi dan Biaya Rawat Inap Menurut Jenis Kelamin
Di Indonesia perempuan usia lanjut lebih banyak dibandingkan laki-laki, bahkan bila ditinjau usia harapan hidup yang rerata adalah 65 tahun, perempuan menunjukkan rerata usia 68 tahun sedangkan laki-laki adalah 65 tahun (Abikusno.N,2007)
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang dikutip oleh Siagian.A (2007), menjelaskan bahwa usia harapan hidup (UHH) adalah 75 tahun pada tahun 2025 dari proyeksi WHO tersebut berarti perkiraan wanita berpeluang hidup 25 tahun pasca menopause, dan berarti beban resiko yang dimiliki perempuan akan semakin bertambah.
Selanjutnya dari hasil penelitian diketahui proporsi jumlah klaim jenis kelamin perempuan lebih kecil dari jenis kelamin laki-laki, distribusi klaim jenis kelamin perempuan walupun relatip sama dengan jenis kelamin laki-laki, akan tetapi pada jenis kelamin laki-laki lebih besar.
Distribusi morbiditas perempuan lebih tinggi dari laki-laki, khususnya pada masa reproduktif dan usia lanjut diatas 50 tahun. Perusahaan yang karyawan wanitanya lebih banyak dari laki-laki mengakibatkan pemanfaatan asuransi kesehatan lebih banyak dari pada perusahaan yang seluruhnya laki-laki. (Junadi. P, 2000)
Hasil penelitian ini berbeda dengan teori diatas, dimana ditemukan tingkat morbiditas relatip sama akan tetapi jenis kelamin laik-laki lebih tinggi dari perempuan, hal ini dapat terjadi karena populasi penelitian ini pada komunitas pensiunan atau usia lanjut dan populasi usia 22 tahun sampai dengan 30 tahun tidak ada dalam populasi penelitian, sehingga populasi usia reproduksi populasinya kecil.
Dari hasil penelitian yang disajikan dalam tabel 6.5 dapat dilihat rata-rata total biaya rawat inap proporsi jenis kelamin laki-laki lebih besar dari pada jenis kelamin perempuan dan tidak ditemukan perbedaan yang signifikan. Namun hasil uji statistik terhadap aneka biaya rawat inap ditemukan perbedaan yang signifikan pada biaya visite dimana biaya pada jenis kelamin perempuan lebih tinggi dibanding jenis kelamin laki-laki, namun pada biaya tindakan jenis kelamin laki-laki lebih besar dibandingkan dengan jenis kelamin perempuan.
Biaya klaim medis berbeda menurut jenis kelamin dan variasi ini sering tergantung pada usia serta manfaatnya, contohnya manfaat kamar rumah sakit seringkali rendah bagi wanita berusia dibawah 30 tahun dan diatas 50 tahun serta bagi pria antara 30 dan 50 tahun (Junadi. P 2000).
Hasil penelitian ini berbeda dengan teori diatas dimana tidak ditemukan perbedaan yang signifikan biaya kamar antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Tidak ditemukannya perbedaan ini dapat saja terjadi karena dalam populasi kepesertaan kelompok umur >50 tahun lebih banyak sedangkan dari pada kelompok umur 30-50 tahun relatip kecil.

D.Utilisasi dan Biaya Rawat Inap Menurut Kelompok Umur
Dari tabel 5.11 diketahui bahwa distribusi jumlah peserta program Prokespen pada >70 tahun berjumlah 14,38% dan usia >50 tahun berjumlah 70,31%, selanjutnya dari hasil penelitian yang disajikan penulis pada tabel 6.2 diketahui jumlah klaim pada usia >50 tahun adalah 80% klaim atau lebih dari 2/3 klaim, klaim pada usia >70 tahun adalah 1/4 dari seluruh klaim atau 26,32% klaim selama priode April 2006 sampai dengan Maret 2007.
Usia lanjut adalah suatu kejadian yang pasti akan dialami oleh semua orang yang dikarunia usia panjang, kejadiannya tidak bisa dihindari oleh siapapun, namun manusia hanya dapat menghambat kejadiannya. Belum ada ketentuan yang pasti tentang berapa umur orang disebut usia lanjut, para ahli membedakannya dalam dua kategori yaitu (1) umur kronologis, biasanya pada usia >55 tahun dan beberapa referensi juga menyatakan diatas 60 tahun, (2) umur biologis, dimana usia lanjut dilihat dan diukur berdasarkan indek umur biologisnya (infokes.com dalam www.kespro.info)
Selanjutnya infokes juga menjelaskan resiko sakit pada usia lanjut, hal ini dapat disebabkan kemunduran fungsi organ tubuh manusia. Kemunduran organ tubuh menurut Kartari (1990) yang dikuti oleh infokom antara lain kemunduran terhadap fungsi kulit, rambut, otot, jantung dan pembuluh darah, tulang dan seks. Kemunduran fungsi organ tubuh inilah yang menyebabkan tingginya resiko terhadap kualitas hidup dan kesehatan.
Menurut Menko Kesra (2007), dengan meningkatnya usia harapan hidup akan membawa sejumlah konsekwensi. Diantaranya kebutuhan akan pelayanan bagi penduduk usia lanjut, kebutuhan sosial salah satunya kebutuhan akan pemeliharaan kesehatan (www.kompas.com)
Usia merupakan faktor yang penting dalam pengembangan biaya klaim, karena hampir seluruh statistik klaim medis bervariasi menurut usia, selanjutnya dijelaskan juga tentang, pengaruh umur orang yang lebih tua mempunyai morbiditas yang lebih tinggi dari pada yang lebih muda.(Junadi. P, 2000)
Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang diungkapkan diatas dapat dilihat bahwa tingkat morbiditas pada usia >50 tahun pada komunitas program Prokespen yang tinggi.
Hasil penelitian ini juga didukung oleh hasil evaluasi program jaminan kesehatan purna karya atau pensiunan dan keluarga pada PT Krakatau steel yang menunjukkan kelompok usia 51-60 tahun merupakan kelompok tertinggi dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan. (Suhadak. H.A, 2006)
Dari hasil penelitian diketahui rata-rata total biaya rawat inap per hari menurut kelompok umur 31-50 tahun, 51-70 tahun dan >70 tahun hampir sama dan tertinggi pada kelompok umur <21>70 tahun.
Menurut L. Tobing (2007), memiliki anak merupakan hak setiap orang, akan tetapi para ahli menjelaskan bahwa usia dan fisik mempengaruhi terhadap proses kehamilan dan persalinan, selanjutnya dijelaskan juga bahwa setelah berusia 35 tahun wanita digolongkan pada kehamilan beresiko tinggi, golongan resiko tinggi ini mempengaruhi janin dan bayi serta kualitas kesehatan ibu.
Dari hasil penelitian dan teori diatas dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa pada komunitas program Prokespen ini terdapat kelompok ibu hamil beresiko tinggi yang cukup besar, hal ini perlu dilakukan evaluasi dan penelitian lebih lanjut apakah informasi dari hasil penelitian yang menunjukkan tingginya kelompok usia <21>
E.Utilisasi dan Biaya Rawat Inap Menurut Jumlah Diagnosa
Dari hasil penelitian diketahui bahwa distribusi jumlah diagnosa lebih separuh klaim adalah 1 diagnosa, 1/4 klaim adalah 2 diagnosa. Dan ditemukan 15 (1,75%) klaim tidak tercantum diagnosa.
Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil evaluasi program jaminan kesehatan purna karya atau pensiunan dan keluarga pada PT Krakatau steel yang menunjukkan jumlah diagnosa >4 diagnosa lebih tinggi dibanding jumlah diagnosa lainnya (Suhadak.H.A, 2006)
Praktek kedokteran mengkombinasi sains dan seni. Sains dan teknologi adalah bukti dasar untuk memecahkan suatu maslah klinis. Seni kedokteran adalah penerapan antara ilmu kedokteran, intuisi dan keputusan medis untuk menentukan diagnosa yang tepat dan terencana untuk melakukan perawatan untuk masing-masing pasien sesuai dengan kebutuhan medis. (http://id.wikipedia.org)
Rawat inap adalah pelayanan pasien untuk observasi, diagnosis, pengobatan, rehabilitasi medik dan atau upaya pelayanan kesehatan lainnya dengan menginap. (Kepmenkes No.560/Menkes/SK/IV/2003)
Rata-rata rawat inap berdasarkan diagnosa atau average length of stay by type of diagnosa, untuk mengetahui rata-rata rawat inap untuk kasus-kasus rawat inap pada berbagai type PPK. Rata-rata hari rawat inap juga menggambarkan kualitas pelayanan (Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat, 2003)
Dilihat dari teori diatas, esensi suatu pelayanan oleh dokter tentu melalui perencanaan untuk menentukan diagnosa dan dalam penatalaksanaan rawat inap tentu telah ditentukan diagnosa pada masing-masing pasien dan diagnosa tersebut akan sangat berpengaruh kepada pembiayaan yang dibutuhkan pasien. Biaya untuk penatalaksanaan medis tentu berbeda antara diagnosa, pada penelitian ini ditemukan klaim yang tidak tercantum diagnosa. Kesalahan tidak tercantumnya diagnosa dalam berkas klaim dapat terjadi dari dua sisi, sisi provider atau tenaga verifikasi klaim.
Selanjutnya berdasarkan teori diatas selain untuk menilai kinerja provider dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada peserta, informasi tentang diagnosa bermanfaat juga untuk pelaksanaan manjemen kendali biaya serta kendali mutu. Disarankan kepada pengelola program Prokespen untuk dapat melakukan manajemen diagnosa pasien menurut diagnosa utama, diagnosa penyulit dan diagnosa penyerta.
Dari hasil penelitian yang disajikan dalam tabel 6.7 diketahui rata-rata biaya total rawat inap per hari menurut jumlah diagnosa tertinggi adalah 3 diagnosa, terbesar kedua adalah 2 diagnosa hampir sama dengan 1 diagnosa dan 4 diagnosa, terkecil >4 diagnosa, hasil uji statistik tidak ditemukan perbedaan yang signifikan antara kelompok jumlah diagnosa begitu juga dengan hasil uji statistik terhadap aneka biaya rawat inap tidak ditemukan perbedaan perbedaan yang signifikan.
Menurut HIAA (2001), Diagnosis-Related Group (DRGs) adalah sistem penentuan biaya ganti rugi, rugi spesifik yang didasarkan pada diagnosa medis seorang pasien.
Diagnosis related group merupakan pengelompokan pelayanan medik rawat inap kedalam suatu besaran pembiayaan tertentu berdasarkan diagnosa penyakit (bundling of service into one payment rate based on diagnosis). Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan clinical pathway dan mengklasifikasikan kasus-kasus beserta casemix nya di rumah sakit berdasarkan kebutuhan akan sumber daya. DRG dan casemix sudah digunakan diberbagai negara antara lain Amerika, Australia, Norwegia, Swedia, Finlandia, Denmark, Jerman, Belgia, Irlandia, Prancis, Italia, Portugis dan Kanada. (Rivany. R dan Nurwahyuni. A,2006)
Manajemen penyakit mempunyai banyak defenisi yang berbeda. Paling sering didefeniskan sebagai usaha untuk mengurangi biaya total kesehatan melalui koordinasi diantara para dokter menyangkut penyakit tertentu. Selanjutnya dijelaskan juga bahwa program manajemen penyakit membutuhkan analisa data komplit agar dapat ditentukan manfaatnya bagi pasien dan bapel. (HIAA, 2001)
Perbedaan total biaya menurut jumlah diagnosa ini sesuai dengan pernyataan teori diatas, untuk pengembangan kedepan program kendali biaya dan kendali mutu pelayanan kesehatan berbasis jenis penyakit maka penulis menyarankan kepada pelaksana program prokespen untuk dapat melakukan perbaikan manajemen data pasien khususnya manajemen data jenis penyakit berdasarkan diagnosa, dengan pelaksanaan manajemen pasien maka diharapkan dapat menghasilkan data tentang jenis penyakit menurut penyakit utama atau alasan utama pasien dirawat, penyakit penyerta dan penyakit penyulit.

F.Utilisasi dan Biaya Rawat Inap Menurut Jenis Penyakit
Dari hasil penelitian diketahui bahwa lebih dari 2/3 klaim adalah penyakit non infeksi, sisanya hampir sama antara jenis penyakit infeksi dan jenis penyakit infeksi yang diserta noninfeksi.
Secara konseptual, transisi epidemiologi adalah bergesernya pola penyakit yang didominir oleh penyakit infeksi ke arah pola penyakit non infeksi. Transisi ini disebabkan oleh makin banyaknya penduduk usia lanjut serta perubahan gaya hidup dan meningkatnya industrialisasi (Gani. A dalam Thabrani. H dan Hidayat. B, 2000)
Hasil penelitian ini didukung juga oleh hasil evaluasi program jaminan kesehatan keluarga pensiunan pada PT Krakatau steel yang menunjukkan jenis penyakit non infeksi lebih tinggi dibandingkan penyakit infeksi. (Suhadak. H. A, 2006)
Dari hasil penelitian yang disajikan dalam tabel 6.8 dapat dilihat rata-rata total biaya per hari menurut jenis penyakit tertinggi pada jenis penyakit non infeksi, hasil uji statistik ditemukan ada perbedaan biaya yang signifikan antara jenis penyakit, uji boferroni membuktikan perbedaan yang signifikan adalah jenis penyakit non infeksi dengan jenis penyakit infeksi disertai non infeksi.
Selanjutnya pada uji satatistik terhadap aneka biaya rawat inap ditemukan perbedaan yang signifikan pada biaya kamar. Hasil uji bonferroni pada biaya kamar membuktikan perbedaan yang signifikan adalah jenis penyakit non infeksi dengan jenis penyakit infeksi disertai non infeksi.
Menurut Sorkin, 1975, Cambridge Research Institute, 1976 dan Feldstein, 1988 yang dikutip oleh Azwar. A dalam Thabrani. H dan Hidayat. B, (69, 2000), menjelaskan akibat dari laju inflasi, perubahan pola penyakit, perubahan pola hubungan dokter-pasien, tingkat permintaan yang meningkat serta penggunaan berbagai peralatan canggih menyebabkan biaya pelayanan kesehatan (health cost) makin hari makin meningkat.
Perubahan pola perkembangan penyakit dari dominsi penyakit menular bergeser ke pola penyakit tidak menular dan penyakit kronis mengakibatkan terjadi tekanan ganda penyakit (double burden of disease), tekanan ini lebih berat dirasakan oleh negara miskin dan berkembang. Pada umumnya negara miskin dan berkembang masih berjuang keluar dari tekanan penyekit infeksi dan disisi lain pesatnya penyakit kronis mengakibatkan dampak akhir pada peningkatan biaya secara menyeluruh. (www.supercourse.cn)
Tingginya inflasi biaya kesehatan, komplikasi jenis penyakit terkadang muncul dengan karakteristik dan kebutuhan perlakuan yang berbeda termasuk jenis obat-obatan yang semakin beragam dengan tingkat harga yang cendrung tidak mudah dikendalikan. Hal ini menyebabkan tingkat inflasi biaya kesehatan cenderung lebih tinggi dari tingkat inflasi secara umum. (www.idionline.org)
Guna meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dirumah sakit pemerintah, Departemen Kesehatan akan menerapkan sistem standarisasi biaya pelayanan terpadu rumah sakit berdasarkan kasus (casemix) di semua rumah sakit pemerintah mulai Juli 2007. sistem casemix adalah sistem terpadu kasus penyakit dengan prosedur pemeriksaan dan tindakan standar yang selanjutnya dijadikan sebagai dasar penentuan biaya pengobatan atau penanganan (Farid, 2007)
Hasil penelitian dan teori diatas menunjukkan pentingnya menganalisa jenis penyakit secara lebih spesifik berdasarkan diagnosa, baik diagnosa utama, penyerta maupun penyulit karena erat hubungnya dengan sumber daya yang dibutuhkan. Dengan hanya melihat dan membedakan kasus dengan jenis penyakit infeksi, non infeksi serta infeksi disertai non infeksi hanya mampu menggambarkan keadaan secara global saja.

G.Utilisasi dan Biaya Rawat Inap Menurut Provider
Dari hasil penelitian diketahui bahwa hampir 2/3 klaim adalah provider jaringan dan sisanya pada provider luar jaringan.
Organisasi penyelenggara pelayanan atau provider merupakan istilah yang digunakan untuk menguraikan profesionalisme medis dan organisasi pelayanan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan. (HIAA,2001)
Asuransi yang tidak memiliki kontrak kerja sama dengan PPK mengakibatkan asuradur tidak dapat mengontrol biaya PPK untuk memberikan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan medis (Thabrany. H dan Hidayat. B,2000)
Selanjutnya Thabrani. H dan Hidayat. B, 2000, menjelaskan bahwa dengan menggunakan teknik pengendalian utilisasi dan biaya kesehatan dapat melalui intervensi kepada sisi suplai dan sisi deman. Pada asuransi konvensional yang tidak memiliki hubungan kerja dengan PPK (suplai) melakukan intervensi pengendalian melalui deman (peserta atau konsumen) dengan memberlakukan resiko sendiri seperti deduktible, coinsurance, limitasi dan pengecualian.
Sangat penting bagi pihak asuradur agar dengan seksama mengatur pelayanan dan daerah cakupan agar setiap peserta mempunyai akses yang mudah ke provider dan untuk mengurangi penggunaan provider diluar jaringan. (HIAA, 2001)
Cara pembayaran klaim dengan cara reimburstment memiliki banyak kelemahan khususnya kendali biaya dan mutu pelayanan kesehatan, maka untuk menghindari kelemahan tersebut dengan cara pembayaran prospektif (prospective payment), cara ini memerlukan kerjasama yang baik dengan penyelenggaran pelayanan kesehatan (health propiders) (Azwar. A dalam Thabrani. H dan Hidayat. B, 2000)
Analisis kunjungan pertama untuk kasus penyakit bertujuan untuk mendapatkan gambaran keparahan penyakit dan kualitas pelayanan serta tindak lanjut pengobatan. Apabila dalam waktu tertentu tidak atau belum sembuh maka kemungkinannya adalah (1) kualitas pelayanan yang kurang baik, (2) kepatuhan makan obat dan memenuhi anjuran medis sangat rendah. (Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat,2003)
Dari hasil penelitian dan teori diatas dimana masih cukup tinggi akses peserta pada provider diluar jaringan atau klaim dengan menggunakan pola reimbesment mengakibatkan lemahnya pelaksana program melakukan kendali biaya dan kendali mutu. Disarankan kepada pelaksana program Prokespen untuk dapat mengevaluasi tingkat kepuasan peserta pada provider jaringan dalam memberikan pelayanan kepada peserta, serta menilai lokasi provider berdasarkan wilayah agar akses peserta ke provider jaringan dapat ditingkatkan, dan perbaikan kebijakan atau peraturan untuk menekan akses peserta ke provider luar jaringan misalnya dengan memberlakukan deduktible atau coinsurence.
Dari hasil penelitian yang disajikan dalam tabel 6.9 dapat dilihat rata-rata total biaya per hari pada provider jaringan lebih tinggi, namun hasil uji statistik tidak ditemukan perbedaan yang signifikan pada rata-rata total biaya per hari, namun pada biaya kamar bedah dan tindakan ditemuan perbedaan yang signifikan pada rata-rata biaya per hari dimana ditemukan biaya tertinggi pada provider jaringan.
Perubahan status rumah sakit pemerintah menjadi Badan Usaha Milik Negara membuktikan pemerintah mendorong kecendrungan komersialisasi. Demikian juga status hukum rumah sakit, yang terbuka peluang menjadi for profit, akan membuka peluang praktik kedokteran tidak hanya merujuk ilmu dan etika kedokteran, tetapi juga kaidah ekonomi. Semua itu akan mendorong malpraktik kian luas, kecendrungan overutilization atau unnecessary utilization akan kian luas guna memenuhi kaidah ekonomi. (Sulastomo, 2007)
Implikasi yang terjadi adalah dokter dan rumah sakit ingin memiliki rasa aman akan kemungkinan tuduhan malpraktik. Karena tuntutan sering berwujud sejumlah uang, hal ini akan menimbulkan bisnis baru yaitu asuransi malpraktik, beban biaya premi malpraktik dibebankan kepada pasien. Dampak akhirnya perusahaan asuransi harus meningkatkan biaya premi suatu produk kesehatan (Sulastomo, 2007)
Dalam Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Online menjelasakan tentang biaya obat akan lebih rendah, jika obat pasien disediakan oleh pihak rumah sakit dari pada pasien membeli obat sendiri diluar rumah sakit. Terlebih di rumah sakit swasta cendrung menggunakan obat paten yang harganya mahal (Darwis.H, 2004)
Kenyataan adanya iklim persaingan merambah industri rumah sakit di Indonesia (khususnya rumah sakit melawan persaingan tersebut) mulai merambah media massa seperti pemasangan billboard, papan penunjuk arah, spanduk serta majalah untuk kalangan terbatas. Cara-cara persaingan seperti ini akan berdampak pada beban ekonomi rumah sakit dan selanjutnya beban tersebut akan di geser kepada pasien, pada pasien yang memiliki jaminan atau asuransi maka pihak asuransi yang akan menerima dampak. Untuk menghindari dampak tersebut maka asuradur akan mengembalikan beban tersebut pada peningkatan biaya premi. (Suryadi.S dalam www.pdpersi.co.id)
Perlunya mengendalikan kejadian malpraktik pada dokter dan rumah sakit. Dewan kehormatan profesi dokter yang berhak memberikan rekomendasi proses hukum suatu kejadian malpraktik. Hal ini penting untuk melindungi dokter, pasien dan rumah sakit, muara akhirnya perusahaan asuransi tidak menaikkan biaya premi akibat semakin meningkatnya biaya pelayanan kesehatan. (Sulastomo dalam www.atmajaya.ac.id)
Dari hasil penelitian dan teori diatas berbeda dengan asumsi awal penulis, dimana perkiraan penulis ada perbedaan yang signifikan antara provider jaringan dan provider luar jaringan serta rata-rata biaya tertinggi pada provider luar jaringan. Fenomena ini perlu dievalusi dari sudut pandang provider yaitu, apakah provider jaringan dalam pemberian pelayanan tidak over utilisasi dan apakah tarif biaya yang diberlakukan pada provider jaringan lebih tinggi dari pada provider luar jaringan. Hal ini penting dilakukan karena dengan terjadinya loss ratio pada priode ini tentu akan berdampak terhadap perhitungan premi selanjutnya.

H.Utilisasi dan Biaya Rawat Inap Menurut Lama Hari Rawat
Angka hari rawat inap (length of stay) adalah lama hari rawat inap pasien pada sarana kesehatan dalam kurun waktu tertentu. Angka rawat inap dapat diperhitungkan berdasarkan lama hari perawatan pasien rawat inap dan dapat juga dilakukan perhitungan berdasarkan lama hari rawat pasien per kasus atau per diagnosa (Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat,2003)
Dari hasil penelitian diketahui lama hari rawat (LOS) adalah 5.883 hari dan rata-rata lama hari rawat inap (ALOS) adalah 6,76 hari, rentang lama hari rawat terkecil adalah 1 hari dan terbesar adalah 40 hari.
Hasil penelitian ini hampir sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Utami.A (2006) pada pelayanan rawat inap pensiunaan yayasan kesehatan bank mandiri dimana ALOS adalah 6,75 hari.
Rata-rata lama hari rawat inap ini berbeda pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Riyadi.S tentang pembiayaan masyarakat peserta maupun yang tidak menjadi peserta jaminan pemeliharaan (JPK) yang menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan, data yang digunakan adalah data sekunder susenas 2001, hasil penelitian yang dilakukan ditemukan rata-rata lama hari rawat inap dalam satu tahun di rumah sakit pemerintah sebesar 8,3 hari dan pada rumah sakit swasta 6,8 hari.
Menurut Mukti Gufron, A, (2005) Untuk mengontol lama hari rawat inap (LOS) maka diberlakukan MaxLOS atau maxsimal Leght of stay berdasarkan jenis diagnosa pasien.
Dari hasil analisis regresi linier lama hari rawat dengan biaya total per hari rawat inap didapat nilai (r=0,195, R2=0,038, p value =0,000) persamaan garis rata-rata total biaya adalah sebagai berikut :

Rata-rata total biaya=2.277.588 - 88.848(lama hari rawat)

Dari hasil penelitian ini kita dapat memperkirakan rata-rata total biaya per hari dengan menggunakan variabel lama hari rawat, setiap kenaikan 1 hari rawat inap maka biaya akan turun sebesar Rp.88.847,67, dan ditemukan ada hubungan yang signifikan antara lama hari rawat dengan rata-rata total biaya per hari rawat inap.
Menurut Mahendra.I.K dalam www.radar banjarmasin.com, menjelaskan bahwa kendala mutu pelayanan saat ini adalah medical error, beberapa hal yang menyebabkan medical error misalnya, kesalahan diagnosis, kesalahan pemberian obat, over dosis obat, keterlambatan merujuk dan kegagalan untuk menangani pasien secara tepat. Medical error ini berhubungan erat dengan mutu pelayanan rumah sakit, mutu pelayanan ini sering menjadi keluhan pasien, untuk itu rumah sakit diharapkan mampu menekan agar medical error dapat ditekan sedemikian rupa mendekati nol.
Selanjutnya dijelaskan juga untuk mengantisipasi masalah medical error melalui sumber daya manusia yang profesional dibidangnya, kontrol terhadap terapi yang rasional, penggunaan pemeriksaan penunjang secara tepat serta pengendalian lama hari rawat atau leght of stay perlu mendapat perhatian.
Rumah sakit berkembang layaknya sebuah hotel plus dimana beban biaya dari aneka pelayanan tambahan seperti pemanfaatan air conditioner, televisi, lemari es, lemari, moubeler, kursi tamu serta biaya sarana lainnya. Hal ini lebih extrim lagi jika bertujuan untuk mempengaruhi kepuasan pasien terhadap kualitas pelayanan kesehatan. (Suryadi.S dalam www.pdpersi.co.id)
Dari hasil penelitian dan teori diatas perlu dilakukan telaah lebih lanjut terhadap lama hari rawat berdasarkan kebutuhan medis pasien, penatalaksanaan suatu diagnosa sangat berpengaruh terhadap lama hari rawat dan akan berdampak dengan biaya yang dibutuhkan pasien dalam satu episode sakitnya. Adanya service diluar kebutuhan medis dari rumah sakit perlu di evaluasi apakah berpengaruh terhadap lama hari rawat.
Hasil penelitian yang disajikan dalam tabel 10 diketahui bahwa biaya yang paling berpengaruh terhadap total biaya rawat inap per hari dengan lama hari rawat inap adalah biaya bedah dan biaya kamar bedah, hal ini menunjukkan apabila peserta mendapat pelayanan tindakan pembedahan maka tagihan biayanya akan lebih tinggi.

1.LOS Dengan Rata-rata Biaya Kamar
Dari hasil analisis regresi linier lama hari rawat dengan biaya kamar per hari didapat nilai (r=0,117, R2=0,014, p value =0,001) berpola positip dengan persamaan garis (biaya kamar=147.336 + 2.937 (Lama hari rawat))
Dari hasil penelitian ini kita dapat memperkirakan rata-rata biaya kamar per hari dengan menggunakan variabel lama hari rawat, setiap kenaikan 1 hari rawat inap maka biaya akan naik sebesar Rp. 2.937,110, dan ditemukan ada hubungan yang signifikan antara lama hari rawat dengan rata-rata biaya kamar per hari rawat inap.
Hubungan lama rawat inap dengan biaya kamar yang sangat kuat sesuai teori aktuaria yang memasukkan komponen biaya kamar ke dalam konsep daily benefit, biaya kamar merupakan biaya perawatan rawat inap yang dikeluarkan setiap hari rawat inap, jika dihubungkan dengan teori medical eror diatas maka perlu dilakukan telaah terhadap lama hari rawat dengan jenis diagnosa, penulis berpendapat dengan teknik DRG dan case mix dapat menentukan pemanfaatan biaya kamar dan lama hari rawat.
Seperti yang diberitakan oleh Indo Pos tanggal 6 Juni 2007 dimana kiat suatu rumah sakit untuk memuaskan pasiennya berusaha menampilkan rumah sakit dengan konsep hotel. Fasilitas yang ditawarkan juga dengan konsep mewah seperti menu makan pasien yang disajikan oleh koki (chef) yang direkrut dari hotel berbintang, suasana, ruang tunggu pasien yang ingin berkunjung serta fasilitas yang ada dalam kamar perawatan serba mewah dengan konsep kemewahan hotel berbintang. Semua fasilitas tersebut ditagihkan kedalam biaya kamar pasien (Pramita.R dan Ardianti.I, 2007)
Fenomena service pelayanan diluar pelayanan medis perlu menjadi perhatian, khususnya perusahaan asuransi dalam memilih provider untuk melayani pesertanya. Dengan penerapan teknik benfit peserta maka sulit bagi asuradur untuk mengontrol biaya pelayanan kesehatan yang dikeluarkan.

2.LOS Dengan Rata-rata Biaya Visite, Visite Spesialis dan Konsultasi
Dari hasil analisis regresi linier lama hari rawat dengan biaya visite per hari didapat nilai (r=0,010, R2=0,0001, p value =0,764) berpola negatip dengan persamaan garis (biaya visite=14.666 - 58(lama hari rawat))
Dari hasil penelitian ini kita dapat memperkirakan rata-rata biaya visite per hari dengan menggunakan variabel lama hari rawat, setiap kenaikan 1 hari rawat inap maka biaya akan turun sebesar Rp.58, dan tidak ada hubungan yang signifikan antara lama hari rawat dengan rata-rata biaya visite per hari rawat inap, hal ini karena pelayanan visite dokter umum hanya pada pelayanan darurat baik pada saat pasien masuk instalasi gawat darurat maupun visite dokter jaga terhadap pasien gawat darurat pada ruangan rawat inap atau diluar pelayanan visite spesialis.
Dewasa ini kecendrungan perawatan sub spesialis dan spesialis semakin meningkat, sehingga 1 pasien dapat dirawat oleh 3 atau 4 spesialis, dalam pelaksanaannya dokter utama diharapkan sebagai chief, sehingga dia mampu mengontrol dokter lain dalam merawat pasien. Namun pada kenyataannya waktu yang dimiliki oleh dokter spesialis sangat terbatas sehingga komunikasi terjadi hanya melalui tulisan (lembar konsultasi, yang sering kali sulit dibaca). Hal demikian selain tidak efisien dalam perawatan pasien dan berdampak pada biaya-biaya penatalaksanaan pasien. (Mahendra.I.K dalam www.radarbanjarmasin.com)
Pada hasil analisis regresi linier lama hari rawat dengan biaya visite spesialis per hari didapat nilai (r=0,076, R2=0,006, p value =0,000) berpola positip dengan persamaan garis (biaya visite spesialis=64.474 + 1.279(lama hari rawat))
Dari hasil penelitian ini kita dapat memperkirakan rata-rata biaya visite spesialis per hari dengan menggunakan variabel lama hari rawat, setiap kenaikan 1 hari rawat inap maka biaya akan naik sebesar Rp.1.279,191, dan ada hubungan yang signifikan antara lama hari rawat dengan rata-rata biaya visite spesialis per hari rawat inap.
Pesatnya perkembangan spesialis dan sub spesialis, mengakibatkan fragmentasi pelayanan kedokteran dan berkurangnya hubungan dokter-pasien akibat kedokteran yang semakin berorientasi ke penunjang diagnostik, serta meningkatnya biaya pelayanan kesehatan, secara keseluruhan telah memberikan dampak negatip pada sistem pelayanan kesehatan. (Depkes, IDI dan Fakultas Kedokteran, 2003)
Selanjutnya hasil analisis regresi linier lama hari rawat dengan biaya konsultasi per hari didapat nilai (r=0,003, R2=0,0000, p value =0,919) berpola positip dengan persamaan garis (biaya konsultasi=7.715 + 22 (lama hari rawat))
Dari hasil penelitian ini kita dapat memperkirakan rata-rata biaya konsultasi per hari dengan menggunakan variabel lama hari rawat, setiap kenaikan 1 hari rawat inap maka biaya akan naik sebesar Rp. 22,374, dan tidak ada hubungan yang signifikan antara lama hari rawat dengan rata-rata biaya konsultasi per hari rawat inap.
Ada dua pendekatan yang lazim digunakan untuk membahas permintaan terhadap pelayanan kesehatan. Pertama ialah the agency relationship atau dikenal dengan supllier induced demand model. Kedua adalah investment model yang diajukan oleh Grossman (Tjiptoherijanto. P dan Sosetyo. B, 1994)
Hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan kecendrungan peserta mendapatkan pelayanan kesehatan dokter spesialis mengakibatkan beban biaya meningkat pada biaya visite spesialis sedangkan pada biaya visite dan biaya konsultasi ditemukan biaya menjadi lebih cendrung turun atau lebih rendah.
Selanjutnya dari hasil penelitian dan teori diatas dapat dapat dilihat kecendrungan terjadinya beberapa hal akibat adanya suatu jaminan atau benefit pada peserta Prokespen antara lain dapat dilihat dari persamaan garis linier pada biaya visite yang berpola negatip dan pada biaya visite spesialis dan biaya konsultasi pola positip. Hal yang terjadi merupakan suatu mekanisme supllier induced demand model.

3.LOS Dengan Rata-rata Biaya Obat dan Biaya Penunjang Diagnosa
Menurut Darmansyah (1996) yang dikutip dari www.jpkm-online.net menjelaskan bahwa rasional suatu pemanfaatan obat dapat diramalkan (avidence based therapy), manfaat tersebut dinilai dengan menimbang semua bukti tertulis hasil diagnosa yang sudah ditegakkan.
Dari hasil analisis regresi linier lama hari rawat dengan biaya obat per hari didapat nilai (r=0,065, R2=0,004, p value =0,054) berpola negatip dengan persamaan garis (biaya obat=431.690 - 6.733(lama hari rawat))
Dari hasil penelitian ini kita dapat memperkirakan rata-rata biaya obat per hari dengan menggunakan variabel lama hari rawat, setiap kenaikan 1 hari rawat inap maka biaya akan turun sebesar Rp. 6.733, dan tidak ada hubungan yang signifikan antara lama hari rawat dengan rata-rata biaya konsultasi per hari rawat inap.
Kajian utilisasi obat adalah evaluasi penggunaan obat dengan cara review peresepan dokter, pemberian obat oleh apotik dan penggunaan obat oleh pasien, pada resep dokter yang perlu direview misalnya jumlah resep, jumlah R/ dalam satu resep dan jumlah obat pada setiap lembar resep. Pemberian obat dari apotik perlu juga mendapat perhatian karena ada kecendrungan jumlah obat dikurangi oleh apotik, disamping itu juga apotik memberikan obat yang tidak sesuai dengan yang diresepkan, misalnya mengganti obat generik dengan obat paten. Pada peserta yang perlu diperhatikan kemungkinan kecendrungan peserta meminta obat secara berlebihan dengan maksud untuk digunakan oleh pihak lain atau untuk dijual (Ilyas,2006)
Jenis obat serta penyajian dan kemasan obat bervariasi, hal ini bukan suatu hal positip bagi konsumen atau pasien karena dengan beragam jenis dan kemasan tersebut mengakibatkan unit cost dalam produksi obat tersebut semakin besar, untuk mengembalikan unit cost yang hilang tersebut maka terpaksa harga obat juga dinaikkan (Soetedja dalam www.pdpersi.co.id)
Rasional dalam kontek pengobatan adalah rasional dalam menggunakan obat dengan mempertimbangkan benefit versus risk suatu pilihan yang sulit terutama mencakup jenis obat dan ketepatan dalam menilai kondisi penderita secara individual, dosis, waktu pemberian, kombinasi obat dan lamanya pengobatan. Dengan menerapkan pengobatan standar ilmu pengobatan (evidence-based-therapy) perlu didukung oleh kajian ilmiah dalam penyusunan daftar obat esensial dalam pertimbangan antara benefit atau risk dalam tiap pengobatan.(Darmansyah, 2007)
Dari hasil penelitian dan teori diatas dimana telah dijelaskan bahwa biaya obat merupakan komponen biaya terbesar dari seluruh komponen biaya lainnya, dengan melakukan kajian kebutuhan obat dan rasionalisasi obat diharapkan biaya obat dapat lebih terkendali dan mampu ditekan penggunaannya sesuai dengan evidence-based-therapy.
Hasil penelitian ini juga didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh litbang Depkes 2003, dimana ditemukan selisih biaya obat yang harus dibayar oleh pasien akibat penulisan resep obat yang tidak memenuhi standar pengobatan.(Supardi.2003)
Dari hasil analisis regresi linier lama hari rawat dengan biaya penunjang diagnosa per hari didapat nilai (r=0,044, R2=0,002, p value =0,199) berpola negatip dengan persamaan garis (biaya penunjang diagnosa=170.899 - 1.515 (lama hari rawat))
Dari hasil penelitian ini kita dapat memperkirakan rata-rata biaya penunjang diagnosa per hari dengan menggunakan variabel lama hari rawat, setiap kenaikan 1 hari rawat inap maka biaya akan turun sebesar Rp.1.515,381, dan tidak ada hubungan yang signifikan antara lama hari rawat dengan rata-rata biaya penunjang diagnosa per hari rawat inap.
Kesalahan memberi treatment pada pasien dimulai dari kesalahan dalam menegakkan diagnosa pasien. Dampak yang terjadi adalah kesalahan pemberian obat dan berdampak merugikan pasien (medical error). Setiap medical error tidak selalu merugikan pasien secara fisik akan tetapi secara finansial tentu sangat berpengaruh besar. (Cahyono 2004)
Temuan yang terjadi pada Institute of Medicine (IOM) Amerika yang melaporkan bahwa medical error membunuh hampir 100.000 penduduk Amerika per tahun, sedangkan The Harvard Medical Practice Studi, Utah and Colorado Study, dan Quality in Australia Health Care Study melaporkan hasil penelitian kejadian medical error antara 3,7% sampai dengan 16%. Disamping mengakibatkan dampak klinis medical error juga berdampak terhadap lamanya hari rawat pasien. (Cahyono 2004)
Dari hasil penelitian dan teori diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa diagnosa sangat penting diketahui agar dapat melakukan evaluasi terhadap lama hari rawat pasien secar berkesinambungan dan memantau kejadian medical error yang berdampak terhadap pembiayaan yang ditanggung oleh perusahaan asuransi. Perlu dilakukan perhatian terhadap jenis pemeriksaan penunjang diagnosa terhadap resep yang diberikan oleh dokter agar dapat mengontrol biaya yang dikeluarkan serta dapat melihat utilisasi dokter.
4.LOS Dengan Rata-rata Biaya Pembedahan
Variabel biaya pada tindakan pembedahan antara lain adalah biaya bedah, biaya anastesi dan biaya kamar bedah, hasil uji statistik menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara lama hari rawat dengan biaya pembedahan.
Dari hasil analisis regresi linier lama hari rawat dengan biaya bedah per hari didapat nilai (r=0,168, R2=0,028, p value =0,000) berpola negatip dengan persamaan garis (biaya bedah=392.534 - 25.288 (lama hari rawat))
Dari hasil penelitian ini kita dapat memperkirakan rata-rata biaya bedah per hari dengan menggunakan variabel lama hari rawat, setiap kenaikan 1 hari rawat inap maka biaya akan turun sebesar Rp. 25.288,32, dan ditemukan ada hubungan yang signifikan antara lama hari rawat dengan rata-rata biaya bedah per hari rawat inap.
Pada analisis regresi linier lama hari rawat dengan biaya anastesi per hari didapat nilai (r=0,090, R2=0,008, p value =0,008) berpola negatip dengan persamaan garis (biaya anastesi=83.821 - 4.692 (lama hari rawat))
Dari hasil penelitian ini kita dapat memperkirakan rata-rata biaya anastesi per hari dengan menggunakan variabel lama hari rawat, setiap kenaikan 1 hari rawat inap maka biaya akan turun sebesar Rp. 4.692,360, dan ditemukan ada hubungan yang signifikan antara lama hari rawat dengan rata-rata biaya anastesi per hari rawat inap.
Selanjutnya hasil analisis regresi linier lama hari rawat dengan biaya kamar bedah per hari didapat nilai (r=0,157, R2=0,025, p value =0,000) berpola negatip dengan persamaan garis (biaya kamar bedah=325.069 - 22.935 (lama hari rawat))
Dari hasil penelitian ini kita dapat memperkirakan rata-rata biaya kamar bedah per hari dengan menggunakan variabel lama hari rawat, setiap kenaikan 1 hari rawat inap maka biaya akan turun sebesar Rp. 22.935,24, dan ditemukan ada hubungan yang signifikan antara lama hari rawat dengan rata-rata biaya kamar bedah per hari rawat inap.
Teknologi pembedahan semakin lama semakin meningkat dan berdampak terhadap kepuasan pasien dan mempersingkat lama hari rawat pasien. Akan tetapi tidak semua lampisan masyarakat dapat menikmati teknologi yang ditawarkan dalam dunia kedokteran khususnya pembedahan. (Prasetyo,2007)
Kemampuan alat kesehatan telah berkembang dengan pesat, untuk tindakan operasi tertentu seperti katarak dahulu pasien harus dirawat inap, namun dengan perkembangan kemampuan lat kesehatan pada pasien tertentu dapat dilakukan pembedahan tanpa harus dirawat inap. (Prasetyo,2007)
Dari hasil penelitian dan teori diatas sangat penting bagi asuradur mengetahui jenis diagnosa pasien yang mendapatkan pelayanan pembedahan, dan telah dibahas diatas bahwa kasus pembedahan ini merupakan variabel yang paling berpengaruh terhadap total biaya rawat inap per hari. Pentingnya diketahui diagnosa peserta yang mendapat pelayanan pembedahan dan kemampuan provider dalam menangani kasus pembedahan. Pada kasus tertentu tidak selamanya pasien harus mendapat pelayanan rawat inap.

5.LOS Dengan Rata-rata Biaya Tindakan
Dari hasil analisis regresi linier lama hari rawat dengan biaya tindakan per hari didapat nilai (r=0,109, R2=0,012, p value =0,001) berpola negatip dengan persamaan garis (biaya tindakan=344.532 - 19.727(lama hari rawat))
Dari hasil penelitian ini kita dapat memperkirakan rata-rata biaya tindakan per hari dengan menggunakan variabel lama hari rawat, setiap kenaikan 1 hari rawat inap maka biaya akan turun sebesar Rp. 19.726,77, dan ditemukan ada hubungan yang signifikan antara lama hari rawat dengan rata-rata biaya tindakan per hari rawat inap.
Rumah sakit selain merupakan tempat penyembuhan dapat juga menjadi sumber berbagai macam penyakit, infeksi nosokomial merupakan salah satu bentuk transfer penyakit ke pasien pasca penatalaksanaan tindakan terhadap pasien. Dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa infeksi nosokomial merupakan salah satu penyebab lama hari rawat pasien menjadi lebih lama (Suwarni dalam www litbang.depkes.go.id)
Dari teori diatas maka perlu dilakukannya penelitian terhadap hubungan tindakan terhadap lama hari rawat antara provider dalam menangani kasus yang sama, hal ini dapat juga melihat kualitas suatu provider dalam penatalaksanaan pasien di rumah sakit.

6.Lama Hari Rawat Dengan Rata-rata Biaya Alat Kesehatan Per-hari
Dari hasil analisis regresi linier lama hari rawat dengan biaya alat kesehatan per hari didapat nilai (r=0,068, R2=0,005, p value =0,045) berpola negatip dengan persamaan garis (biaya alat kesehatan=158.996 - 7.374 (lama hari rawat))
Dari hasil penelitian ini kita dapat memperkirakan rata-rata biaya alat kesehatan per hari dengan menggunakan variabel lama hari rawat, setiap kenaikan 1 hari rawat inap maka biaya alat kesehatan akan turun sebesar Rp. 7.374,063, dan ditemukan ada hubungan yang signifikan antara lama hari rawat dengan rata-rata biaya alat kesehatan per hari rawat inap.
Alat kesehatan menurut Kepmenkes dan kesejahteraan sosial No 394/Menkes-Kesos/SK/V/2001, Bab 1, pasal 1, menjelaskan bahwa alat kesehatan adalah bahan, instrumen, aparatur, mesin, implan yang tidak mengandung obat yang digunakan untuk mencegah, mendiagnosis, menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat orang sakit serta memulihkan kesehatan pada manusia dan atau untuk membentuk struktur dan memperbaiki fungsi tubuh.
Pada penyakit infeksi dan pembedahan pemanfaatan alat kesehatan lebih besar dalam pelayanan rawat inap, oleh karena itu untuk melihat utilisasi biaya alat kesehatan ini perlu diketahui diagnosa penyakit. Dengan konsep maximum benefit sangat sulit melihat dan menilai serta kontrol biaya terhadap utilisasi alat kesehatan juga akan

7.Lama Hari Rawat Dengan Rata-rata Biaya Administrasi Per-hari
Dari hasil analisis regresi linier lama hari rawat dengan biaya administrasi per hari didapat nilai (r=0,065, R2=0,004, p value =0,057) berpola negatip dengan persamaan garis (biaya administrasi=60.265 - 1.178 (lama hari rawat))
Dari hasil penelitian ini kita dapat memperkirakan rata-rata biaya administrasi per hari dengan menggunakan variabel lama hari rawat, setiap kenaikan 1 hari rawat inap maka biaya administrasi akan turun sebesar Rp. 1.178,144, dan tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara lama hari rawat dengan rata-rata biaya administrasi per hari rawat inap.
Program problem oriented medical information system (PROMIS) merupakan sistem komputerisasi dari problem oriented medical record (POMR), yang banyak dikaitkan dengan penelitina ilmiah. Dengan pengembangan program ini maka para dokter dapat menggunakan terminal komputer untuk order pemeriksaan laboratorium, menulis resep dan merekam data anamsesia, hasil pemeriksaan klinik, catatan kemajuan dan lain-lain. Dengan memanfaatkan program ini keakuratan data dan informasi pasien lebih cepat diakses dan dapat menekan biaya administrasi bagi pasien (Sanjoyo dalam www.ugm.ac)
Dari hasil penelitian dapat dilihat biaya administrasi berpola negatip, namun biaya yang berkurang tersebut relatip kecil, untuk dapat menekan biaya administrasi perlu dilakukan evaluasi terhadap efektifitas administrasi suatu rumah sakit.

8.Lama Hari Rawat Dengan Rata-rata Biaya Aneka Perawatan RS Per-hari
Dari hasil analisis regresi linier lama hari rawat dengan biaya aneka perawatan rumah sakit per hari didapat nilai (r=0,085, R2=0,007, p value =0,012) berpola negatip dengan persamaan garis (biaya aneka perawatan RS=75.589 - 3.585 (lama hari rawat))
Dari hasil penelitian ini kita dapat memperkirakan rata-rata biaya aneka perawatan rumah sakit per hari dengan menggunakan variabel lama hari rawat, setiap kenaikan 1 hari rawat inap maka biaya aneka perawatan rumah sakit akan turun sebesar Rp. 3.585,134, dan ditemukan ada hubungan yang signifikan antara lama hari rawat dengan rata-rata biaya aneka perawatan rumah sakit per hari rawat inap.
Manajemen pasien dibutuhkan agar pelayanan pada pasien dapat tepat dalam berbagai program; medis, obat, manajemen kasus, manajemen kebutuhan, behavior health, disability dan kompensasi pekerja. Penting sekali informasi yang akurat dan tepat waktu untuk meningkatkan pelayanan bagi pasien. (HIAA, 2001)
Di Indonesia hubungan dokter dengan perawat belum sesuai dengan yang diharapkan karena banyaknya kendala, antara lain, knowledge gap. Kebanyakan dokter menganggap perawat sebagai “pembantu” dokter, dari sudut pandang perawat memandang dokter sangat otoriter dan paternastis. Seringkali tindakan keperawatan yang harus dilakukan oleh seorang perawat terlambat diberikan karena kolaborasi hubungan dokter dan perawat yang tidak searah. (Mahendra dalam www.radarbanjarmasin.com)
Profesionalitas kerja perawat dalam melakukan penatalaksanaan keperawatan memiliki hubungan terhadap lama hari rawat, asuhan keperawatan memiliki dampak terhadap terjadinya infeksi nosokomial di rumah sakit. (www.inna-ppni.or.id)
Rumah sakit secara de-fakto telah bergeser dari lembaga sosial menjadi sebuah lembaga sosial. Pergeseran tersebut secara ekonomi dari non profit kearah profit making, dampak dari pergeseran tersebut dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan di rumah sakit orientasi kepuasan pasien lebih dominan dari profesionalitas kerja salah satunya “with hold to patient”, lebih rinci dijelaskan dengan memperpanjang lama rawat dapat memenuhi kebutuhan ekonomi (Wijaya dalam Lestari, 2004).
Dari hasil penelitian diatas dimana biaya keperawatan berpola negatip maka perlu dilakukan kajian tentang rasionalitas lama hari rawat berdasarkan diagnosa, dengan kajian clinical phatway tentu dapat membandingkan quality insure yang diberikan antara satu rumah sakit dengan rumah sakit lainnya terhadap penatalaksanaan pasiennya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar