Masalah pekerja migran dan kepentingan kesejahteraannya adalah contoh bagaimana persoalan mengenai pekerja migran tidak dapat dipisahkan dari isu-isu mengenai hak asasi manusia. Sebagaimana dengan orang lain, tanpa memerhatikan kewarganegaraannya, ras, legalitas maupun status lain berhak mendapatkan HAM dan perlindungan, terkait dengan status mereka yang rawan (Michael & Jeffrey Passel, 2003)
Di antara hak-hak dasar pekerja migran terdapat hak untuk mendapat kebebasan dari diskriminasi berdasarkan etnis, jenis kelamin, agama maupun status lannya dalam berbagai aspek pekerjaan, termasuk dalam penyewaan, kondisi pekerjaan dan promosi, sekaligus akses untuk perumahan, kesehatan dan pelayanan dasar. Akses pekerja migran dan keluarganya ke perumahan, kesehatan dan pelayanan dasar dapat dinyatakan dengan istilah umum, "welfare benefits" (kepentingan kesejahteraan) (Michael & Jeffrey Passel, 2003)
Hak-hak kepentingan kesejahteraan yang dimiliki pekerja migran menurut Konvensi Internasional dalam Perlindungan Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (Michael & Jeffrey Passel 2003) adalah sebagai berikut :
- Pekerja migran dan anggota keluarganya dapat menikmati perlakuan yang sama asalkan mereka memenuhi syarat-syarat legislasi
- Pekerja migran dan anggota keluarganya memiliki hak untuk mendapatkan perawatan medis yang dibutuhkan dalam keadaan gawat darurat untuk menyelamatkan hidupnya atau menghindari kerusakan yang tak dapat diperbaiki yang memengaruhi kesehatan mereka atas dasar persamaan perlakuan dengan warga negara bagian bersangkut
- Setiap anak dari pekerja migran memiliki hak untuk mendapatkan nama, registrasi kelahiran dan kewarganegaraan; memiliki hak untuk pendidikan atas dasar persamaan perlakuan dengan warga negara bagian bersangkut
Masalah dengan kepentingan kesejahteraan adalah banyak yang berpikir bahwa imigran datang ke negara yang lebih kaya hanya untuk mengeksploitasi pelayanan umum. Isu ini telah menjadi sumber perdebatan panjang di beberapa negara maju, termasuk di AS sebagai negara nomor satu yang menarik pekerja dari luar negeri. Menurut laporan beberapa statistik yang dilakukan The Urban Institute, pada tahun 2000, rumah tangga asing sebanyak 10% memiliki kasus kesejahteraan dan merupakan 11% dari populasi total. Mereka yang menggunakan kesejahteraan pada tingkat tertinggi termasuk pengungsi yang mayoritas meguasai bahasa Inggris secara terbatas dan tingkat pendidikan yang rendah. Sebuah penelitian serupa di Australia menemukan bahwa para imigran memilki lebih sedikit kesempatan untuk mendapatkan pembayaran kesejahteraan daripada orang asli Australia. Situasi ini tentu berbeda untuk migran ilegal karena mereka ingin menyembunyikan keberadaan mereka dari pihak berwajib. Di AS, walaupun tidak terdokumentasi, migran ilegal tidak berhak mendapatkan bantuan umum kecuali untuk situasi medis yang gawat darurat. The Urban Institute menyatakan bahwa mereka membayar pajak 5-10 kali lebih banyak daripada yang mereka dapatkan dalam pelayanan kesejahteraan. (Michael & Jeffrey Passel, 2003)
Bahkan dengan fakta bahwa imigran berpenghasilan rendah lebih tidak mungkin untuk meminta kesejahteraan, pemerintah AS masih tetap membatasi hak-hak kesejahteraan para imigran. Menurut rancangan Undang-Undang mengenai kesejahteraan, hanya yang berikut ini yang berhak mendapatkan program kesejahteraan:
- Imigran legal dilarang mendapatkan kesejahteraan umum selama 5 tahun setelah memasuki negara dan dilarang dari SSI dan mendapatkan kupon makanan hingga mendapatkan kewarganegaraan.
- Kepentingan yang tersedia untuk imigran termasuk program sarapan dan makan siang sekolah, imunisasi, perawatan medis, keringanan bencana, dan program-program lain yang perlu untuk melindungi diri dan keamanannya, yang tidak dipengaruhi oleh status imigrasi.
Meskipun Undang-Undang sebelumnya lebih ketat, banyak yang merasa bahwa Undang-Undang yang sekarang sangat membatasi HAM para pekerja migran. Bahkan penggunaan kesejahteraan juga membuatnya lebih sulit untuk membawa sanak saudara ke AS, yang juga menjadi alat penangkis yang paling ampuh. Beberapa mengatakan bahwa Undang-Undang kesejahteraan yang memberikan terlalu banyak kebebasan warga hanya akan membawa hal-hal buruk bagi AS dan penduduk aslinya. Namun orang-orang ini melupakan bahwa para imigran hanya ingin bekerja sekeras mungkin. Para petani migran kebanyakan bekerja 12-13 jam/hari, 7 hari seminggu pada musim panen. Apabila migran hidup dalam keadaan di bawah standar nasional atau dibawah garis kemiskinan, itu disebabkan gaji rendah, pengangguran musiman, kegelisahan dalam pekerjaan, dan dikskriminasi. Kemiskinan adalah masalah global dan semua orang bertanggungjawab untuk memecahkannya. (Michael & Jeffrey Passel, 2003)
Lebih jauh lagi, sangat penting bagi kita untuk ingat bahwa pekerja migran juga menstimulasi kegiatan ekonomi lokal dengan produk dan pelayanan. The US National Academy of Sciences berkonklusi bahwa pada akhirnya setiap imigran dengan keturunannya akan menghasilkan $ 80.000 untuk pendapatan negara. Sebuah penelitian di Inggris menunjukkan bahwa warga negara yang terlahir di luar negeri berkontribusi sebanyak 10% lebih banyak dari kesejahteraan. Jadi, apakah pesan yang dapat kita bawa pulang? Kita dapat mengatakan bahwa migrasi mengakibatkan masalah, tetapi membuka banyak kesempatan bagi semuanya. (Michael & Jeffrey Passel, 2003)
Menurut UNHDR 2009, saat ini hampir seperenam jumlah penduduk dunia bermigrasi, sekitar 200 juta orang bermigrasi lintas negara, dan lainnya bermigrasi internal di dalam negeri masing-masing dan sebesar 6 juta orang pekerja migran internasional berasal dari Indonesia (TKI), dan telah menghasilkan remitansi yang sepanjang tahun 2008 mencapai 8,24 milyar dolar AS atau sekitar Rp 80,24 trilyun (Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Sosial, 2009)
Berdasarkan pengalaman selama enam tahun terakhir ini, TK-PTKIB sampai pada suatu kesimpulan bahwa TKI Bermasalah hanyalah muara dari berbagai permasalahan penyiapan, pengiriman dan perlindungan pekerja migran yang 80-90% terjadi di dalam negeri. Pembenahan terhadap permasalahan di dalam negeri diyakini akan mampu menekan dan menghilangkan terjadinya TKI bermasalah di luar negeri (Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Sosial, 2009)
Selanjutnya masalah mekanisme rekrutmen, diklat dan sertifikasi harus disempurnakan dan ditingkatkan sehingga tidak dimungkinkan adanya sertifikat kesehatan dan sertifikat kompetensi tenaga kerja yang asli tapi datanya dipalsukan. Perlu juga dikembangkan rintisan skema pembiayaan dari pinjaman perbankan atau sumber pendanaan lainnya yang tidak memberatkan bagi TKI dalam membayarnya kembali (Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Sosial, 2009)
Peran masyarakat sangat besar yang untuk daerah perbatasan sedang dikembangkan Perpolisian Masyarakat (Polmas) Daerah Perbatasan, yang diharapkan dapat membantu pihak keamanan dengan mengawasi keluar-masuknya orang melalui pelabuhan dan lorong-lorong tradisionil agar tidak disalahgunakan untuk mengirim atau memulangkan TKI ilegal, dan sangat mungkin juga dijadikan tempat keluar masuknya narkoba dan terorisme serta tindak pidana perdagangan orang. Selama tahun 2009, daerah uji coba pengembangan Polmas Daerah Perbatasan dilakukan di Tanjungpinang, Batam, Entikong dan Nunukan. Pengembangan model akan dipergunakan untuk memperluas titik-titik Polmas sehingga terbentuk sabuk Polmas di sepanjang daerah perbatasan RI-Malaysia (Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Sosial, 2009)
Perbedaan gaji pembantu rumah tangga asal Filipina di Malaysia sebesar 1.400 ringgit (Rp4,5 juta) per bulan sangat jauh berbeda dengan jumlah gaji pembantu rumah tangga asal Indonesia yang hanya sebesat 400 ringgit (Rp1,4 juta) per bulan. Sehingga pekerja Indonesia yang terkenal sebagai pekerja ulet, rajin, sayangnya juga terkenal sebagai pekerja murah (Prasetio, 2008)
Sejak tahun 2006 KBRI Kuala Lumpur telah membentuk Tim Satuan Tugas (Satgas) Perlindungan dan Pelayanan Warga Negara Indonesia (PPWNI) yang beranggotakan elemen struktur KBRI yakni : fungsi protokol dan konsuler, fungsi sosial budaya dan penerangan, fungsi penerangan, atase imigrasi, atase ketenagakerjaan, atase pendidikan, atase perhubungan, atase riset (BIN) dan SLO POLRI (Kementerian Sosial RI, 2007)
Tahun 2009 Pemerintah telah menyelesaikan pembuatan nota kesepahaman kerja sama penempatan tenaga kerja Indonesia (TKI) dengan enam negara tujuan pekerja. keenam negara tersebut yakni Korea Selatan, Australia, Jepang, Malaysia, Yordania, dan Kuwait, selanjutnya Ada 11 dari 16 negara yang sedang disiapkan MoU-nya. Yang sudah selesai dengan Korea, Australia, Jepang, Malaysia, Yordania dan Kuwait. Sementara dengan Lebanon, Uni Emirat Arab dan Yaman masih diprosesoleh asosiasi Pembangunan Manusia UNDP Tahun 2009 (Antara, 2009)
Migrant Care memaparkan angka kematian buruh migran Indonesia mencapai 1.018 jiwa sepanjang tahun 2009 dan63 persennya (683 orang) meninggal di Malaysia. Tak hanya kematian, ternyata angka kekerasan mencapai 2.878 orang hingga penghujung 2009. Data tersebut menunjukkan bahwa terjadi penurunan martabat bangsa Indonesia. Sementara menurut Duta Besar Indonesia untuk Malaysia Da'i Bachtiar mengatakan bahwa masalah gaji yang tidak dibayar masih menjadi permasalahan utama (Waspada Online, 2009)
Perwakilan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) Lotte Ketjer menyatakan bahwa Indonesia masih menganggap buruh migran sebagai jalan keluar terhadap masalah tenaga kerja dalam negeri. Indikasinya terlihat dengan target pemerintah untuk buruh migran yang mencapai 1 juta orang per tahunnya. Selanjutnya Lotte menjelaskan bahwa target tersebut tidak diimbangi dengan hak mendapatkan pekerjaan yang layak, Perlindungan dan akses informasi buruh migrant. Hal tersebut diakui juga oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar yang mengakui bahwa pemerintah belum optimal terhadap buruh migrant sehingga perlu optimalisasi lintas sektoral, perlu optimalisasi perwakilan di negara penempatan (Waspada Online, 2009)
Komite Nasional Perempuan (Komnas Perempuan) menyesalkan keluarnya Permenakertrans No. 22/MEN/XII/2008 tentang Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia dan Permenaker No. 23 tentang Asuransi Tenaga Kerja Indonesia. Lahirnya Permen ini dinilai Komnas Perempuan telah mengurangi intensitas perlindungan kepada Tenaga Kerja Indonesia (TKI) khususnya Tenaga Kerja Wanita (TKW), misalnya pada tahapan pra keberangkatan yang kini hanya terbatas pada pengawasan berbagai dokumen pekerja migrant (BNP2TKI, 2009)